Sabtu, 14 Maret 2009

JURNAL: MANUSIA, KERJA, DAN HUKUM

JURNAL: MANUSIA, KERJA, DAN HUKUM
(Sekilas Kajian tentang Keadilan Sosial Perburuhan di Indonesia)
Oleh:
Sabian Utsman


Abstract

Pada hakekatnya manusia bukan hanya merespon, tetapi “social action” berdasarkan rasionalitas, sehingga jadilah satuan-satuan kerja yang diciptakan dari dan untuk manusia itu sendiri. Manusia bekerja adalah untuk melaksanakan tugas suci (gairah agama), luhur, dan wujud syukur kepada Allah Swt. (Q.S. Ibrahim:7). Ketidakkonsistenan (konflict) dalam kontrak social kerja selalu ada sepanjang sejarah perburuhan sesuai proses dan tingkatannya, makanya perlu payung hukum “Het recht wil den Vrede” (tujuan hukum adalah kedamaian)
Bekerja (buruh dan majikan) yang baik adalah memperhatikan kontrol hukum yang kuat (law in action tidak hanya law in book), economic reward, cruss cutting offiliations, serta antara yang memiliki dan tidak memiliki alat produksi (buruh dan majikan) sama-sama menghormati entitas manusia yang sangat tinggi (human right).
Proses aksi manusia yang berwujud pekerjaan, tidak semata dilihat sebagai aktivitas fisik, namun juga aktivitas sosial yang dinamis, dan menelurkan perubahan dari agraris kepada industrialis. Dalam hubungan kerja, kontrol hukum (termasuk kehadiran asosiasi buruh) dan scientific management adalah jawaban representatif sepanjang mengutamakan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.

Keywords: Manusia, Kerja, dan Hukum Perburuhan

1. Pendahuluan
Sebelum lebih lanjut mengetahui manusia, kerja, dan hukum maka ada baiknya kita mengetahui apa sesungguhnya yang dimaksud manusia sebagai makhluk bertindak. Soeprapto, (2002: 145) menyatakan bahwa teori intraksionisme simbolik memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu pengertian yang mendalam, yakni suatu mahluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi. Dalam pengertian ini, manusia sebagai suatu makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, bukanlah makhluk yang hanya merespon saja, akan tetapi makhluk yang bertindak atau beraksi; suatu makhluk yang harus mencetak sederetan aksi berdasarkan pada perhitungan; tidak hanya berfungsi melepaskan respon pada interaksi sosial yang ada.
Disebut manusia kerja karena ia melakukan beberapa tindakan yang bukan saja merespon, tetap beraksi berdasarkan perhitungan-perhitungan matang sehingga menjadilah satuan-satuan kerja yang diciptakan oleh dan untuk manusia itu sendiri.
Ditinjau dari kacamata sosiologi, bahwa kerja itu tidaklah hanya sebagai aktivitas fisik belaka, tetapi didalamnya ada aktivitas sosial yang terorganisir dalam beberapa sistem. Menurut Usman (1998:87), membagi hubungan kerja menjadi dua hal; pertama, pilihan strategi yang dilembagakan pemberi kerja untuk mengontrak pekerja (buruh), kedua, pilihan respon yang dibangun oleh buruh dalam mengakomodasi kontrol, baik dalam proses produksi maupun dalam masyarakat.
Yang melatari bahasan ini adalah karakteristik buruh kaitan dengan aktivitas social ekonomi perburuhan dan hukum, maka yang akan dibahas tidak terlepas dari hubungan kerja, kontrak produksi, kiat mengakomodasi kontrol, dan perangkat peraturannya.
Dalam hubungan kerja kaitannya dengan aktivitas ekonomi, maka menjadi penting untuk melihat karakteristik aktivitas ekonomi, struktur tenaga kerja dan sistem hubungan kerja yang hadir bersama industri, serta payung hukum yang menjamin tegaknya human right.
Hubungan kerja antara buruh dengan pemberi kerja adalah adanya model manajemen yang dibangun sebagai strategi dalam upaya mengontrol buruh, yang lebih populer disebut dengan istilah manajemen ilmiah (scientific management). Management ini ditujukan agar bisa mengatur pekerjaan dan membuat pekerjaan yang lebih efisien, sehingga buruh bukan hanya melakukan pekerjaan semata-mata hanya mengikuti perintah, akan tetapi menghasilakn sesuatu yang diharapkan baik buruh, maupun yang memberi pekerjaan. Dalam hal ini Usman, (1998: 92) menyatakan adalah satu hal penting yang ingin ditekankan dalam manajemen ini adalah bagaimana mengatur agar pekerjaan dapat cepat selesai, berjalan lebih efisien dan mengaitkan pendapatan buruh dengan output yang dihasilkan (keadilan distributif). Dalam konteks ini, manajemen diharapkan bertanggungjawab pada bagaimana seharusnya pekerjaan dilakukan sehingga buruh melakukan pekerjaan tidak semata-mata hanya karena memenuhi perintah, melainkan karena benar-benar ingin menghasilkan sesuatu.
Hubungan pekerja dengan yang memberi pekerjaan sebenarnya sudah diberi payung hukum untuk perlindungan para pihak sehingga mengakomodasi kontrol semakin terwujud. Hal ini secara yuridis formal memang diatur dalam kesepakatan dalam kontrol kerja, namun senyatanya dalam beberapa pengalaman empiris masih banyak ditemui ketidakkonsistenan para pihak dalam mematuhi ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Secara yuridis formal, hubungan antara pengguna dan atau pemberi kerja dengan buruh diatur dalam bentuk kontrak kerja, yang disepakati bersama sehingga isinya dengan tegas mengatur tentang hak dan kewajiban sebagai dasar mereka melakukan tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan pekerja maupun yang mengadakan pekerjaan.

2. Manusia dan Kerja
a. Hubungan Kerja
Dalam hal hubungan kerja, kita sebagai manusia mempunyai kesamaan hak paling asasi atas pemberian Allah Swt, atas dasar itu pula kita mempertanyakan “sudahkah sistem hubungan kerja yang selama ini melembaga mendatangkan kesejahteraan dan apa bila ternyata belum, apakah sebagai penyebabnya”.
Sebelum menjawab persoalan tersebut di atas, maka ada baiknya kita mengkaji karakteristik ekonomi, struktur tenaga kerja yang hadir secara bersamaan dengan industri. Melaksanakan kewajiban dengan bekerja, maka haruslah bekerja keras, karena dengan bekerja keras banyak hal yang kita peroleh antara lain; merepleksikan rasa syukur, menghilangkan kebimbangan, serta melaksanakan tugas suci dan luhur atas perintah dan atau doktrin agama. Allah Swt befirman dalam Q.S. Ibrahim: 7: dalam Bakry, (1984: 487) berbunyi “Dan (ingatlah) di waktu Tuhan kalian memperingatkan, jika kalian bersyukur, niscaya aku akan menambah nikmat-Ku kepada kalian dan jika kalian kufur, maka azab-Ku amat berat sekali. Sesuai firman Allah Swt tersebut, kaitannya dengan kerja dan kontrak kerja, maka repleksi syukur kepada Allah Swt juga mempunyai makna bahwa kontrak social itu mempunyai demensi taqwa yang bukan hanya mu’amalah tetapi juga bermakna ibadah (bukan hanya solidaritas social ekonomi semata, tetapi solidaritas ekonomi yang benilai ibadah) sehingga semakin giat dan teratur dalam bekerja (pengemban amanah Allah Swt), maka semakin besar kenikmatan yang diperoleh sesuai janji Allah Swt kepada hamba-Nya.
Kemudian doktrin Calvinisme dalam Usman,(1998:103) menyatakan, melaksanakan kewajiban dengan kerja keras adalah jalan untuk membangun dan memperoleh kepercayaan diri, menghilangkan kebimbangan dan memberi pengertian pada rasa syukur. Itulah sebabnya dalam doktrin Calvinisme kerja tidak diletakkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi sebagai suatu tugas suci. Sikap hidup keagamaan yang dikehendaki oleh doktrin Calvinisme adalah innerwordly osceticien, yaitu intenspikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja.
Dalam karakteristik aktivitas ekonomi, tidak terlepas kita juga membicarakan manusia dan kerja yang mana sebagai kunci pokok dari terjadinya perubahan sosial ekonomi yang sekaligus juga memberi stimulan untuk meningkatkan deferensisasi struktur sosial. Dalam konteks perubahan sosial, Soekanto (1990:333) dalam Soeprapto (2002:25), mengatakan bahwa perubahan sosial, hanya bisa diamati, diketahui atau dikemukakan oleh seseorang melalui pengamatan mengenai susunan, struktur dan institusi suatu perikehidupan tertentu dimasa lalu, dan sekaligus membandingkannya dengan susunan, struktur dan institusi suatu peri kehidupan dimasa kini, tidak ada masyarakat yang tidak berubah, semua masyarakat bersifat dinamis, hanya laju dinamikanyalah yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Walau dikenal juga masyarakat statis dan masyarakat dinamis.
Masyarakat statis adalah masyarakat yang cendrung mengalami perubahan yang sangat lambat bahkan pada sektor-sektor tertentu mengalami kemunduran kalau tidak mau dikatakan stagnan (stagnation) seperti halnya budaya pada daerah-daerah tertentu. Sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat yang cepat sekali mengalami perubahan dengan segala konsekwensinya. Sebenarnya kedua karakteristik tersebut di atas, baik statis maupun dinamis, bagi manusia dan atau semua manusia tanpa kecuali pasti sama-sama mempunyai potensi dari dalam dirinya untuk berubah, hanya saja yang menjadi perbedaan itu adalah rentang waktu dan atau lambat–cepatnya proses perubahan itu sendiri.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perubahan sosial dan diferensiasi struktural dapat mengganggu integrasi sehingga berpotensi yang berakibat terjadinya disintegrasi. Sebagai jawaban terhadap hal tersebut, adalah peningkatan rasionalisasi kembali memberi stimulan balik pada perubahan sosial dan diferensisasi struktural. Hal ini sebagai siklus berlanjut menandai the way of doing serta the way of thingking kehidupan masyarakat industri.
Di belahan dunia manapun, bahwa kehadiran industri tidaklah semata hanya merubah struktur tenaga kerja, tetapi juga mempengaruhi sistem hubungan kerja. Paling tidak perubahan strukturnya terjadi secara sistemik, sebelumnya masyarakat tidak mempunyai pekerjaan tetap dan atau belum bekerja secara teratur sehingga tidak mempunyai penghasilan yang tetap, maka dengan kehadiran industri, masyarakat dan atau sebagian besar masyarakat menjadikan dirinya sebagai pekerja tetap dan berpenghasilan tetap pula.
Dalam realita perubahan social pekerja buruh seperti di atas, bisa juga kita lihat dari masyarakat agraris kepada masyarakat industri, sebagaimana proses yang biasanya terjadi seperti berikut; masyarakat pra-industri (termasuk budaya agraris) adalah sebagian besar masyarakatnya, kemudian sebagai motivasi bekerjanya hanyalah untuk memenuhi konsumsi keluarganya (family worker), kebutuhan ekonominya, dan atau memenuhi usahanya sendiri (self-emplayed) yang kesemua satuan kerjanya adalah ditandai oleh hubungan yang lebih bersifat pribadi (personal relationship).
Kalau kita melihat kehidupan ekonomi masyarakat industri, konsentrasi tenaga kerja lebih banyak berada di workshop dan atau pabrik. Apabila workshop dan atau pabrik semakin besar dan jumlah tenaga kerja semakin banyak, maka kontak dan atau komunikasi personal antara pekerja dan pemberi kerja semakin menipis dan hanya dilakukan kalau dianggap sangat perlu, maka situasi seperti inilah terkadang kebanyakan buruh yang teralienasi dan atau bahkan kehilangan haknya atas barang-barang yang justru dihasilkannya sendiri. Padahal besar dan atau kecilnya suatu usaha atau pabrik yang tidak bisa diabaikan adalah keberadaan buruh yang berada di ujung tombak dalam memajukan sistem industri dan pasar yang bersangkutan. Dalam hal ini tidaklah mengherankan apabila status buruh tereduksi menjadi komoditi sesuai permintaan dan atau kebutuhan pasar sehingga harga buruh tergantung ramai dan atau sepinya pasar. Berkaitan dengan itu, maka paling tidak ada dua implikasi yang perlu dicermati:
1). Tentang Upah; kondisi dan penampilan buruh pemilik, pengguna atau pemberi kerja lebih sering diperhitungkan sebagai bagian dari proses dan pengeluaran untuk memperoleh keuntungan.
2). Tentang Keterampilan; karena keterampilan yang laku jual (marketable skill) menjadi basis penghargaan, mereka yang mempunyai keterampilan semacam itu selalu berusaha mengontrol kondisinya agar tidak tersaingi. Tetapi disisi lain, pemilik sendiri selalu berusaha sedemikian rupa sehingga proses produksi tidak sangat tergantung pada orang-orang yang memiliki marketable skill itu.
Dalam hal tersebut di atas, ada konsepsi penting dalam memberikan cara yang paling murah dan sederhana yaitu membagi pekerjaan menjadi elemen-elemen kecil, aktivitas kerja diusahakan agar berjalan rutin saja, monoton sesuai dengan jenis pekerjaan atau kegiatan yang telah dibebankan. Dalam kondisi demikian, pengetahuan dapat dimonopoli dan proses produksipun menjadi mudah dikuasai. Tetapi pada kondisi-kondisi tertentu dan atau pada pabrik-pabrik yang memang menjadikan training sebagai jaminan tertentu untuk kemapanan masa depannya, maka training perlu diadakan. Karena dengan memberi peluang diadakannya training (kalau memang perlu) dengan tetap membagi pekerjaan menjadi elemen-elemen kecil adalah semakin menambah kuat pondasi industri yang bersangkutan.

b. Kontrol Produksi
Untuk mengontrol buruh, dengan istilah manajemen ilmiah (scientific management) yaitu satu bangunan model manajemen yang dipergunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam kerangka kontrol kepada buruh. Hal-hal yang ditekankan dalam hal ini adalah bagaimana cara-cara mengatur agar setiap satuan pekerjaan itu cepat diselesaikan dengan tepat dan efisien serta lebih efektif, kemudian menjaga keseimbangan pendapatan buruh kepada output dan atau produksi yang dihasilkan buruh itu sendiri. Sasaran penting dalam scientific management ini juga berimplikasi kepada tanggungjawab pada bagaimana seharusnya buruh tidak hanya melakukan pekerjaan berdasarkan perintah semata tetapi lebih kepada bagaimana mendapatkan hasil yang diinginkan dan menegakkan human right sesuai kemampuan dan perencanaan sebelumnya.
Sesungguhnya manajemen ilmiah itu sudah diterapkan hampir seabad yang lalu terutama perindustrian atau perusahaan di daratan eropa, yang tidak hanya diatur besaran insentif yang layak diberikan kepada buruh, tetapi adanya keteraturan dan rincian aktivitas kerja pada perusahaan yang meliputi, antara lain; pengaturan kerja, masuk, istiraht, pulang kerja, serta alat-alat yang seharusnya dipergunakan dan lain-lainnya sesuai kebutuhan buruh dan perusahaan. Dengan demikian diharapkan sangat efisien untuk meningkatkan produktivitas kerja yang akhirnya secara sistematis meningkatkan hasil produksi perusahaan sekaligus pula sama dengan kepentingan peningkatan kesejahteraan buruh sebagai manusia dengan segala hak yang dimilikinya.
Dalam hal pengaturan kerja, apabila semunya diatur dengan ketat, maka keinginan dan kreasi mereka bisa terabaikan. Hasil pekerjaan buruhpun bisa kurang memuaskan, terutama potensi yang mereka miliki kurang dihargai dan akan lebih buruk lagi manakala mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan untuk pekerjaan mereka sendiri serta bekerjapun harus mengikuti ”law in book” tidak “law in action” sehingga sesuai ketentuan yang berlaku serta tidak memperhatikan kepentingan ekonomi buruh. Seperti biasa, dengan asumsi bahwa setiap buruh dan atau orang sangat berkepentingan kepada kesejahteraan dan atau perbaikan ekonomi serta keharmonisan pergaulan dalam suasana kerja (wellevendheid), kesadaran akan perdamaian (de overtuiging van vreedzaamheid), serta kesemuanya itulah yang membela hukum untuk sopan-santun (Zeden), maka dengan asumsi itu untuk menjawab persoalan di atas, bagi pengguna tenaga kerja antara lain agar merasionalkan jumlah penghasilan atau memberi penghargaan ekonomi (economic reward). Yang menjadi kerisauan kita adalah apakah benar penghargaan ekonomi akan memuaskan buruh. Karena yang melekat dalam motivasi buruh itu sangat banyak sekali dan bukan satu-satunya ekonomi. Namun masih banyak industri yang mempertahankan manajemen ilmiah ini, walau harus ditempuh dengan elaborasi dan atau penyesuaian dengan kondisi yang berkembang.
Manajemen ilmiah ini sangat mementingkan kemampuan mengontrol setiap tahapan proses, dan satuan kerja, gagasan menjadi salah satu yang sangat penting juga, sehingga bisa merancang pekerjaan secara efektif dan efisien dan setiap buruh menerima intraksi yang jelas, deskripsi pekerjaan yang rinci, dan mampu menggunakan sarana sebaik mungkin. Sebagai konsekwensinya terjadilah penggolongan pekerjaan dengan berdasarkan ketrampilan (skill), serta diidentifikasi semua pekerja tentang pengetahuan yang dimilikinya. Yang mana untuk dasar pembagian antara tenaga ahli dan tenaga manual.
Ada beberapa kelemahan model manajemen ilmiah ini, salah satunya adalah mengabaikan keyakinan, moral, dan nilai sosial yang justru melekat di dalam diri buruh dan atau pekerja itu sendiri. Oleh karena itu model manajemen ilmiah perlu adanya memasukan prinsip-prinsip hubungan kemanusiaan yang memadai. Sehingga terwujudnya proses penyesuaian antara motivasi yang bersifat ekonomi dengan motivasi yang bersifat sosial.
Buruh sebagai makhluk sosial disamping sebagai makhluk individu, sudah barang tentu di dalam kehidupannya tidaklah hanya ada keterikatan kepada yang berkaitan dalam proses produksi semata, tetapi banyak hal yang menjadi keharusan seoarang buruh untuk berkelompok dan atau membanguan keterikatan diluar fungsinya sebagai buruh (cruss cutting-offiliatios) sehingga terjalin hubungan social yang dilekati rasa saling pengertian dan tidak mungkin mengabaikan dengan kelompok-kelompok informal walau tidak terkait dengan ketentuan formal.

3. Kiat Mengakomodasi Kontrol Melalui Hukum Perburuhan
Berdasarkan sejarah perkembangan hukum perburuhan sebagai alat kontrol system kerja buruh kaitan dengan penegakkan “human right”, bisa saja kita cermati riwayat hubungan kerja buruh dari perbudakan, pekerjaan rodi, punale sanksi, bahkan sampai hubungan kerja modern, maka sangatlah jauh lebih baik nasib para buruh pada masa sekarang ini, walaupun khususnya di Indonesia masih perlu peningkatan perlindungan terhadap buruh. Hal ini bisa kita lihat pada masa perbudakan yang mana diri para budak (zaman perbudakan) adalah milik orang yang mempekerjakannya, bukan sebatas perekonomian semata, tetapi hidup dan matinya. Sebagai contoh, seorang raja apa bila ia wafat agar selalu mempunyai pengiring, seperti; pelayan, selir, dan pekerja lainnya, maka dibunuhlah budak-budak tersebut untuk kepentingan rajanya (sebagai pemilik para pekerja). Dalam Soepomo, (1990: 10) menyatakan pada zaman perbudakan, para budak itu sebagai milik orang lain, hidup-matinya ditangan orang yang memilikinya. Soepomo mencontohkan pada tahun 1877, pada waktu meninggalnya seorang raja di Sumba, seratus orang budak rela di bunuh agar raja itu di dunia baka nanti akan mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan pekerja lainnya.
Dalam hukum perburuhan secara jelas telah mengatur baik kepentingan buruh maupun pengguna buruh bahkan kalau ada perselisihan dalam perburuhan juga diatur dalam hukum perburuhan, sesuai prosedur dalam penyelesaian permasalahan perburuhan tersebut baik melewati P4-D dan P4-P atau cara lainnya dan selalu dalam koridor hukum perburuhan, itu artinya secara yuridis formal, hubungan antara pengguna atau pemberi kerja dan atau buruh sudah diatur sesuai ketentuan, seperti halnya pembuatan kontrak kerja berisi hak dan kewajiban pihak-pihak yang membuat kontrak tersebut. Namun senyatanya dibanyak perusahaan dan atau industri di Indonesia khususnya, apa yang teramat dalam butir-butir kontrak kerja tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan konsekwen dan atau pembuatan kontrak kerja harus menempatkan posisi buruh sebagai manusia yang termarjinalkan bahkan terkadang berada pada posisi dichotomis (object problem).
Kalau kita cermati, secara yuridis formal, hubungan antara pengguna atau pemberi kerja dan buruh secara pasti diatur dengan kontrak kerja yang seharusnya dicapai berdasarkan kesepakan bersama. Kemudian di dalam kontrak kerja, dimuat hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terkait. Namun, berdasarkan pengalaman empirik menunjukkan bahwa tidak semua yang tertulis (law in book) atau yang sudah disepakati dapat dilaksanakan. Dalam kenyataannya, sejumlah butir yang tertera dalam kontrak tidak lebih dari pada sekadar slogan yang enak didengar tetapi teramat sukar direalisasikan pada tataran “law in action”.
Meskipun demikian adanya, sesungguhnya masih ada peluang dan atau tempat untuk memperjuangkan nasib buruh yang mampu bergerak untuk kepentingan krusial nasib kolektif buruh dari pada hanya sekadar berkumpul dan silaturahmi semata. Di Indonesia misalkan banyak terdapat advokasi-advokasi atau lembaga-lembaga masyarakat yang bergerak dibidang perburuhan walaupun tidak semuanya berpihak kepada yang benar yaitu secara proporsional dan profesional memperjuangkan yang memang menjadi hak buruh setelah mereka memenuhi kewajibannya sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku serta merupakan konsensus bersama antara pengguna dan pemberi kerja yang terwujud dalam kontrak kerja.
Kenyataan yang berkembang, dalam masyarakat industri, asosiasi buruh bukan semata-mata merupakan wadah untuk saling mengenal dan silaturahmi belaka, namun lebih dari itu adalah sebuah “gerakan” yang dapat menampung berbagai macam keluhan dan kepentingan buruh yang muncul bersamaan dengan proses produksi. Sebagian asosiasi buruh membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta mengadakan pertemuan rutin untuk membahas masalah-masalah krusial yang berkembang dikalangan buruh, bahkan tidak jarang menjembatani sengketa dan atau permasalahan buruh kepada advokasi yang kemudian ditugasi untuk memperjuangkan hak-hak buruh di jalur peradilan. Di sisi lain, asosiasi buruh kemudian berkembang menjadi asosiasi politik yang memiliki peluang untuk mempersoalkan hak-hak buruh yang berkaitan dengan proses produksi, bahkan di Indonesia pada waktu-waktu terakhir ini suara buruh sudah menjelma berbentuk partai politik.
Dalam hal penyelesaian persoalan-persoalan buruh, keterlibatan asosiasi sangatlah banyak membantu terutama apa bila mempertemukan pihak buruh, perusahaan, dan pemerintah, serta menjadi terselesaikan masalah yang sedang dihadapi (baik melalui P4-D maupun P4-P). Sehingga kalau asosiasi itu betul-betul tidak terpisahkan dengan kepentingan yang diperjuangkan buruh, maka makna perbudakan dalam diri para buruh betul-betul tidak ada lagi. Sebagaimana diamanatkan pasal 115 --117 Regeringsreglement setelah itu menjadi pasal 169 – 171 Indische Staatsregeling. Budiono, (1995:23) menyatakan bahwa setelah melalui proses yang cukup panjang, tepatnya th 1854, perbudakan di nyatakan di larang. Pasal 115 sampai dengan 171 Regeringsreglement yang kemudian menjadi pasal 169 sampai dengan 171 Insche Staatsregeling dengan tegas menetapkan bahwa paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia harus di hapuskan. Dengan demikian paling tidak, ada jaminan penegakan human right menjadi semakin tinggi, sehingga ada keseimbangan posisi tawar dalam proses kepentingan hak dan tanggungjawab yang diperjuangkan buruh itu sendiri.

4. Penutup
Dari paparan tentang “Manusia, Kerja, dan Hukum” dimuka, maka penulis dapatlah menyimpulkan sebagai berikut:
a. Manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kerja yang diciptakan untuk manusia itu sendiri. Dalam hal kerja tidaklah semata dilihat sebagai aktivitas fisik, tetapi juga sosial yang terorganisir dalam sistem sesuai kondisi yang berkembang.
b. Dalam hubungan kerja, dengan bekerja keras adalah jalan untuk membangun diri baik kepercayaan diri, implikasinya terhadap gairah perintah agama yang suci, maupun wujud syukur kepada Allah Swt, demikian juga konsekwensi doktrin Calvinisme (innerwordly osceticien) yang menempatkan entitas manusia bermakna “intenspikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam proses kegairahan kerja”. Konsekwensi kerja keras adalah perubahan dan dengan perubahan juga sebagai stimulan untuk meningkatkan deferensiasi struktur social (dari masyarakat agraris ke masyarakat industri).
c. System kontrol hukum perburuhan dan scientific management adalah jawaban yang representatif untuk kerja buruh yang sekaligus kontrol produksi, namun kelemahannya antara lain mengabaikan keyakinan, moral, dan nilai sosial yang justru melekat dalam diri buruh itu sendiri. Oleh karena itu keberadaan peraturan-perundangan dan manajemen perburuhan tersebut perlunya nilai-nilai atau prinsip-prinsip hubungan atas dasar kemanusiaan.
d. Dalam kiat mengakomodasikan kontrol, disamping keberadaan P4-D dan P4-P, maka kehadiran asosiasi buruh adalah sangat membantu dalam memperjelas dan atau merealisasikan kontrak kerja yang menjamin hak dan kewajiban buruh secara baik.
Sebagai mana kita lihat masih adanya buruh diberbagai daerah yang masih mempersoalkan hak dan kewajibannya, yang dipicu bukan saja adanya persaingan tetapi terkadang persaingan yang tidak sehat, serta sangat lemahnya supremasi hukum tentang perburuhan, maka salah satu cara adalah menggalakan “scientific management” dan mengintensifkan kinerja asosiasi buruh sehingga bukan saja hanya berkutat masalah upah, cuti, dan pembagian tugas, tetapi secara konprehenshif mengaktualisasikannya ke ranah Human right, economic reward, adanya cruss cutting-offiliation, dan keharmonisan suasana kerja, sehingga buruh juga merasa memiliki hasil produksi sama dengan pentingnya kesejahteraannya sendiri.


DAFTAR BACAAN

Bakry, Oemar, H. (1981), Tafsir Rakhmat,Jakarta: Mutiara
Budiono, Rachmad, (1995), Hukum Perburuhan Indonesia, Malang:PT.Raja Grafindo Persada
Djumadialdji, (1981), Pemutusan Hubungan Kerja, Yogyakarta: PT.Bina Aksara
Dahrendorf, Ralf (1986), Class and Class Conflict in Industrial Society, Jakarta:CV. Radjawali.
Usman,S.(1998), Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rocker, Rudolf (2001), Anarcism and Anarcho-Syndicalism; Anarcist Classics, Yogyakarta: Sumbu
Soeprapto, Riyadi, R.H. (2002), Interaksionisme Simbolik, Malang: Pustaka Pelajar.
Soepomo, I. (1990), Hukum Perburuha,Jakarta: Djambatan
Soepomo, I. (1996), Hukum Perburuhan (Undang-undang dan Peraturan-peraturan), Jakarta: Djambatan
Purbacaraka, Purnadi & Soekanto, Soerjono. (1983), Menelusuri Sosiologi Hukum Negara, Jakarta: CV. Rajawali.
Hendricks, W. (2001), How to Manage Conflict, Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar