Selasa, 10 Februari 2009

JURNAL: KONFLIK NELAYAN

KONFLIK DAN SOLIDARITAS NELAYAN SAKATES
KECAMATAN KUMAI KALIMANTAN TENGAH
Oleh: Sabian Utsman 

ABSTRACT
Dikawasan Sabuai, Karaya, Teluk Bogam, dan Sungai Bakau (Sakates) terdapat 1043 orang nelayan, 345 unit kelotok dan perahu, serta 5 orang sebagai pemodal dari 3374 jiwa penduduknya yang mutlak (100%) memeluk agama Islam. Sakates termasuk dari 9261 desa di pesisir pantai Indonesia sebagai kantong-kantong kemiskinan dan berpotensi terhadap konflik. Sehingga antara tahun 1975-1998 terjadi konflik tertutup dan tahun 1998-2002 terjadi konflik terbuka, sebanyak 28 Kapal Trawl menjadi korban dari tujuh kali amuk massal. Sementara kontribusi pemerintah senyatanya dalam pengelolaan konflik masih jauh dari rasa keadilan yang mestinya diutamakan. Dan karakteristik protes masyarakat bisa dilihat melalui struktur symbolic dalam konflik dan solidaritas yang justru hanya sedikit diolah dan dimaknai Pemerintah setempat, sehingga kurang mampu membaca apa sesungguhnya ma’na di balik struktur konflik dan bangunan raksasa solidaritas communal yang terjadi.
  Selain lemahnya supremasi hukum, terjadinya anatomi konflik adalah benih dari di satu pihak nelayan local mempertahankan kelestarian sumber daya laut atau hak ulayat laut sebagai daerah “food security” di lain pihak ketidak protektifan nelayan luar daerah terhadap sumber daya laut (biota laut) Sakates dengan mengoperasikan “jaring trawl” (melanggar Kepres No. 39 Tahun 1980).
  Struktur konflik di Sakates menjadi; Zero-Sum Conflict, Non Zero-Sum Conflict, dan ditemukan dalam penelitian penulis Sum and Conflict sebagai pengembangan teori dari Paul Conn yang hanya dua, yaitu: Zero-Sum Conflict dan Non Zero-Sum Conflict. Sebagai pengelolaan konflik yang ideal, penulis menawarkan agar mengutamakan pertimbangan sosiologis dalam menegakkan ketiga pilar supremasi hukum, yaitu: peraturan perundangan, aparat penegak hukum, dan kultur hukumnya. Paling tidak institusi negara mutlak harus akuntable, terbuka, transparan, dan kredibel.

Keywords: Konflik, Solidaritas, Pengelolaan Konflik


SIMPULAN
Kategori sosial masyarakat nelayan Sakates, yaitu; yang menguasai alat produksi disebut “Juragan” berjumlah 345.orang dan tidak memiliki alat-alat produksi disebut “Anak Buah” berjumlah 698 orang, dari tingkat investasi modal usaha; mereka sebagai pemodal ini disebut “Penampung” Berjumlah 5 orang. Dalam hal teknologi peralatan, ada dua kategori, pertama; peralatan tradisional sebanyak 2 buah perahu, kedua; peralatan semi modern (“Kelotok”) sebanyak 343 unit ( dengan1043 orang nelayan), dan nelayan luar daerah sudah memakai teknologi modern.
  Konflik dan Struktur Konflik, Paul Conn hanya membedakan menjadi dua saja yaitu “zero-sum conflict” dan “non zero-sum conflict” tetapai senyatanya di Sakates terjadi struktur “sum and conflict". Konflik yang terjadi di kawasan Sakates adalah antara nelayan lokal (in-group) dengan nelayan luar daerah (out-group). Terjadi perlawanan kolektif dari bersifat premitif mengarah kepada reaksioner untuk mempertahankan daerah “food security” bagi mereka.
  Benih konflik berawal dari terakumulasinya kekecewaan, kecemburuan, berutalnya nelayan-nelayan luar daerah mengoperasikan jaring trawl , keterbatasan sumber daya laut, serta lemahnya intervensi negara dalam pengelolaan konflik.. Sehingga th 1998-2002, sebanyak 28 buah kapal trawl menjadi korban amuk massa dan terjadinya konflik kekerasan adalah bagian dari kegagalan oleh pihak yang berkompeten,
  Solidaritas masyarakat nelayan tradisional Sakates, Sepanjang konflik (1998-2002), terjadinya solidaritas komunal yang tinggi yaitu atas dasar ikatan primordialisme, mereka mampu membangun raksasa solidaritas melampaui pemikiran yang sewajarnya dalam konsepsi tradisional setempat
  Dalam hal penanganan Konflik, Sesuai fakta secara kronologis bahwa variabel-variabel dan atau pola-pola yang menyebabkan kejengkelan kekecewaan nelayan lokal selama tidak kurang 23 th (1975-1998) paling tidak pihak-pihak yang berkompetensi tidak sedini mungkin mengolah konflik dengan baik, secara jelas tidak mampunya negara mengimplementasikan perundangan yang sudah diundangkan (seperti Kepres. No.39/1980).  
  Konsepsi yang saya tawarkan, walaupun upaya lain dilakukan juga sesuai kondisi konfliknya, namun tidak bisa terlepas dari penegakkan supremasi hukum, dalam hal ini mengutamakan pertimbangan sosiologis dalam menegakkan ketiga pilar supremasi hukum, yaitu; peraturan perundangannya, aparat penegak hukumnya, dan kultur hukum masyarakatnya.

3 komentar:

  1. artikel ini sangat bagus sekali dan cocok untuk memberikan solusi atas permasalahan bangsa, khususnya ketertinggalan kaum nelayan yang belum banyak di sentuh oleh pembangunan bangsa.

    BalasHapus
  2. saya sepakat, agar paradigma berfikirnya penentu kebijakan bangsa ini lebih menyentuh terhadap jeritan pembangunan kaum pinggiran.

    BalasHapus
  3. dari Baskara:

    boleh juga ide penulis tersebut, apalagi kalau beliau diberi peran yang strategis untuk turut bersama-sama membangun bangsa yang semakin hari semakin terpuruk, saya yakin beliau mampu untuk berbuat yang terbaik. Selamat berjuang.

    BalasHapus