Sabtu, 14 Maret 2009

BOOK REVIEW

BOOK REVIEW

Judul Buku : KONSEP MANUSIA MENURUT MARX
Judul Buku Asli : Marx’s Concept of Man
Penulis : Erich Fromm
Penerjemah : Agung Prihantoro
Penyunting : Kamdani
Tebal Buku : xiv+352 halaman dan indeks
Tahun Penerbitan : 2001
Penerbit : Pustaka Pelajar
Alamat Penerbit : Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167

KONSEP MANUSIA MENURUT MARX
(Marx’s Concept of Man)

Oleh: Sabian Utsman

Pengantar

Isi buku tersebut adalah membahas pemikiran filosofis dan hitoris Karl Marx, yang pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat, kemudian ada tambahan manuskrip dari penulis (Erich Fromm) karena pribadi Marx, sebagaimana ide-idenya, telah difitnah serta dicemarkan oleh banyak penulis.
Pemikiran Marx yang banyak eksistensialis, mempresentasi sebuah protes untuk menentang aliansi manusia, hilangnya jati diri manusia, dan perubahan manusia menjadi sebuah benda. Sehingga kalau kita telaah secara mendalam filsafat Marx adalah merupakan gerakan untuk melawan dehumanisasi dan otomatisasi manusia yang selalu melekat kebanyakan pada industrialisasi Barat.
Marx mengungkapkan secara sangat artikulatif dalam “Economic and philosophical manuscrips”. Kemudian sebagai isu sentralnya adalah “Eksestensi manusia individual yang nyata, yakni apa yang diperbuatnya, dan yang sifatnya membuka dan menyingkap dirinya sendiri dalam sejarah serta protes yang diilhami oleh keyakinan pada manusia, pada kemampuan manusia untuk membebaskan dirinya dan menyadari potensialitasnya”.


A. KONSEP MANUSIA MENURUT MARX

1. Kesalahpahaman terhadap Konsep-konsep Marx
Ada suatu keanehan, yaitu betapa banyaknya para ilmuwan sosial dan filosof yang disegani, secara membabibuta menyalahpahami dan mendistorsikan teori Karl Marx, sebagai mana yang diungkapakan Erich Fromm bahwa diantara kesalahpahaman terhadap konsep Marx yaitu Marx dianggap percaya bahwa motifpsikologis manusia yang tertinggi adalah keinginannya untuk memperoleh dan bersenang-senang dengan uang, dan bahwa upaya untuk memperoleh keuntungan maksimal merupakan pendorong utama dalam kehidupan pribadinya dan dalam kehidupan manusia umumnya. Disisi lain juga kritik Marx terhadap aqidah agama dianggap identik dengan penolakan atau penafikan terhadap semua nilai –nilai spritual, orang-orang yang beranggapan bahwa percaya kepada Tuhan berarti berorientasi spritual.
Berjuta-juta orang yang bepandangan minor terhadap Marx, sebenarnya mereka adalah yang menyerah terhadap berokrasi negara yang sangat kuat, penduduk yang terkekang kebebasannya, sehingga menjadi otomat dan manusia robot yang serba seragam dan sentralistik, yang mana dikendalikan oleh segelintir elit pemimpin yang secara ekonomi mereka lebih baik dan selalu berusaha mempertahankan kekuasaannya.
Secara jelas sebagai bantahan dari anggapan minor terhadap teori Marx, Erich Fromm (2001:6), mengungkapkan bahwa teori Marx tidak mengasumsikan bahwa motif utama manusia adalah mencari materi tetapi lebih penting dan jauh dari sekadar itu adalah untuk membebaskan manusia dari tekanan kebutuhan ekonomi, supaya manusia dapat sepenuhnya menjadi manusia dari dirinya sendiri, emansipasi manusia sebagai seorang individu yang utuh menyeleluruh, mengentaskan alienasi, restorasi kemampuan manusia untuk menghubungkan dirinya secara utuh dengan sesama manusia dan alam sekitar, yang penuh perbedaan dan interaktif secara murni dan bertanggungjawab.

2. Materialisme Historis Marx
Ada beraneka-ragam filsafat materialis dan idealis, untuk memahami materialisme Marx, seyogyanya harus melewati definisi yang umum dulu. Menurut Erich Fromm (2001:14), Marx menentang materialisme mekanis borjuis, yaitu materialisme abstrak dalam sains alam yang mengabaikan kesejarahan dan prosesnya. Dan Marx tidak pernah menggunakan istilah materialisme historis atau materialisme dialektis, tetapi dia memakai istilahnya sendiri yaitu dengan istilah metode dialektika, sehingga dia mengacu kepada kondisi-kondisi fundamental eksistensi manusia.
Searah dengan perjalanan waktu, sebagaimana Erich mengatakan bahwa, kini menjadi jelas mengapa ide populer mengenai sifat materialisme historis itu ternyata keliru. Sehingga pandangan populer tersebut mengasumsikan bahwa dalam pandangan Marx, motif psikologi manusia yang paling kuat adalah meraih uang dan mendapatkan kesenangan material yang lebih banyak, seandainya motif ini merupakan kekuatan utama dalam diri manusia, maka begitulah materialisme historis ditafsirkan, adapun sebagai kunci untuk memahami sejarah adalah nafsu manusia itu sendiri terhadap materi, serta kunci untuk menjelaskan sejarah adalah perut manusia itu sendiri serta kerakusannya terhadap kepuasan materi. Menurut Erich bahwa Marx justru jauh dari materialisme borjuis sebagaimana ia jauh dari idealisme Hegel dan sebenarnya filsafat Marx adalah bukan idealisme maupun materialisme tetapi sintetis antara humanisme dan naturalisme.
Marx lebih lanjut dalam capital membicarakan tentang ketergantungan manusia pada alam, organisme-organisme produksi sosial kuno, dibanding masyarakat borjuis, maka sangat sederhana dan transparan. Tetapi organisme-organisme tersebut ditemukan juga dalam perkembangan individual manusia yang belum dewasa, sehingga menyatukannya dengan sesama manusia dalam komunitas suku primitif sekalipun.

3. Masalah Kesadaran, Struktur Sosial dan Penggunaan Kekuatan
Ada sebuah pernyataan yang diungkapkan dalam buku tersebut yaitu “Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya, keadaan sosialnyalah yang menentukan kesadarannya. Tetapi didalam pernyataan yang lain, Marx percaya bahwa sebagian besar dari apa yang dipikirkan manusia secara sadar adalah kesadaran palsu, yaitu ideologi dan rasionalisasi, bahwa dorongan utama prilaku manusia yang sebenarnya tidaklah disadari.
Bagi Marx, bahwa sains dan semua kekuasaan itu sendiri inheren didalam manusia adalah bagian dari kekuatan-kekuatan produksi yang berinteraksi dengan alam, bahkan, sejauh berkenaan dengan pengaruh ide-ide ini pada evolusi manusia.
Secara terstruktur persiapan yang harus melalui proses sosial dan politik. “Kekuatan,” dalam pandangan Marx sebagaimana dikatakan Erich, adalah laksana seorang bidan yang membantu setiap masyarakat yang hamil tua untuk melahirkan masyarakat baru.”

4. Watak Manusia
Marx tidak pernah tergoda untuk berasumsi bahwa manusia mempunyai watak identik dengan ungkapan, baik watak manusia dalam kelompok masyarakat secara umum maupun secara khusus. Marx mengatakan bahwa seseorang yang mengadakan action dan atau mengkritisi karakteristik manusia, maka haruslah mempunyai watak dengan pertimbangan azas manfaat sebagaimana dikemukakan ungkapan Marx yang ditulis Erich Fromm dalam bukunya Konsep Manusia Menurut Marx, yaitu; “…pertama-tama harus mempelajari watak manusia secara umum, dan kemudian mempelajari watak manusia yang telah dimodifikasi oleh setiap kurun sejarah”. (Erich Fromm,2001:34).
Di dalam buku ini juga memuat beberapa pendapat pemikir yang lain sebagai perbandingan, yaitu antara lain; Spinoza, Goethe,dan Hegel yang kemudian menyertai kesepakatan Marx bahwa “manusia akan hidup hanya jika dia produktif, menguasai dunia di luar dirinya dengan tindakan untuk mengekspresikan kekuasaan manusiawinya yang khusus, serta menguasai dunia dengan kemampuan dan kekuasaannya yang tidak terpasung oleh kekuasaan lain selain dirinya baik secara sadar ataupun tidak sadar.”
Hubungan aktif dengan dunia objektif oleh Marx disebutnya sebagai “hidup yang produktif” dan inilah sesungguhnya hidup yang menciptakan hidup dan kehidupan. Dalam kehidupan seperi ini, aktivitas menempati seluruh watak spesiesnya (species-character) dan aktivitas yang sangat besar adalah watak manusia.
Konsep Marx tentang perwujudan diri manusia dapat sepenuhnya dipahami hanya dalam kaitannya dengan konsepnya tentang kerja. Tentang kerja, erat kaitannya dengan buruh. Buruh, kalau menurut Marx, yaitu sebuah aktivitas, bukan komoditas. Marx sendiri menyebut fungsi manusia sebagai “aktivitas diri”, bukan buruh, dia juga menganggap penghapusan buruh adalah sebagai tujuan dari sosialisme. Marx menggunakan istilah “emansipasi buruh” dalam membedakan antara buruh yang bebas dan buruh yang teralienasi.
5. Alienasi
Konsep Marx tentang sosialisme adalah pembebasan dari alienasi, mengembalikan manusia menjadi dirinya sendiri dan atau suatu perwujudan diri sendiri. Marx mengatakan bahwa manusia bisa berubah menjadi barang ciptaannya sendiri sebagai hiasan hidupnya. Ketika menganggap dirinya sebagai manusia yang menciptakan, justru hanya berhubungan dengan dirinya disaat dia menjadi musyrik.
Dalam konsep Marx, Erich Fromm (2001:59), mengatakan, secara gamblang Marx mengatakan (Kematian dan kekosongan berhala diungkapkan dalam Kitab Perjanjian Lama) “Mata yang mereka miliki tidak melihat, telinga yang mereka miliki tidak mendengar,” dan seterusnya …semakin manusia memindahkan keuasaannya pada berhala, semakin dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri, dan semakn ia tergantung pada berhala, semakin sedikit bagian dirinya yang asli yang dapat diperolehnya.(berhala dapat berupa: patung, negara, gereja, orang, atau kepemilikan yang mengkungkung sehingga membatasi potensi kebebasan manusia).
Dalam kerja yang tidak teralienasi, manusia bukan hanya mewujudkan dirinya sebagai seorang individu, tetapi juga sebagai sebuah makhluk spesies. Para pemikir abad pencerahan sejalan dengan Marx bahwa setiap individu merepresentasikan spesies, yakni kemanusiaan sebagai keseluruhan, universalitas manusia yang mana perkembangan manusia mengarah pada terhamparnya seluruh kemanusiaannya.
Manusia, dengan keabsolutan berhala, hidupnya menjadi bermakna, dan dia menemukan kesenangan. Namun, kesenangan tersebut tidak terputus dari kesenangan yang diperolehnya dalam keterhubungan produktif atau, jika orang mengatakannya secara simbolik, bahwa kesenangan itu tidak ubahnya laksana “membakar es.” Kemudian Erich Fromm (2001), mengatakan bahwa Marx berpendapat “Semakin Anda kurang mengada, semakin Anda kurang mengekspresikan hidup Anda, semakin Anda banyak memiliki, semakin besar alienasi yang Anda alami, dan semakin banyak tabungan Anda sebagai akhluk yang justru teralienasi adanya.”

6. Konsep Sosialisme Marx
Sebagaimana dikemukakan Erich (2001:7), bahwa menurut Marx, Sosialisme bukanlah sebuah masyarakat yang individunya tersubordinasikan oleh negara, mesin dan birokrasi, walaupun negara tersebut sebagai pemilik modal yang abstrak tetapi adalah majikan, walaupun seluruh modal sosial dikuasai oleh satu perusahaan atau suatu lembaga yang kapitalis, sebenarnya yang demikian itu bukanlah sosialisme. Sosialisme adalah “sebuah gerakan resistensi yang menentang penghancuran cinta yang terdapat dalam realitas sosial.” (pendapat Marx tersebut sama dengan pendapat Paul Tillich).
Sebagai realisasi konsep Marx tersebut, Marx menentang keras terhadap agama karena agama dianggapnya teralienasi serta tidak memenuhi kebutuhan manusia yang sebenarnya, sehingga Marx pernah menulis motto diungkapkan Erich Fromm dalam buku Konsep Manusia Menurut Marx, sebagai berikut:
Not those are godless who have contempt for the gods of the masses but those who attribute the opinions of the masses to the gods”. Maksudnya adalah bukan orang tidak bertuhan yang jijik dengan tuhan masyarakat tetapi sebenarnya orang yang menjadi pandangan masyarakat sebagai tuhan. (Erich Fromm, 2001: 84)
Erich (2001), sosialisme adalah resolusi definitif dan bukan rekayasa diluar kedirian atas antagonisme antara manusia dan alam, serta antara sesama manusia. Sosialisme juga sebagai solusi atas konflik antara eksistensi dan esensi, antara objektifikasi dan penegasan diri, antara kebebasan dan keterikatan, antara individu dan spesies, antara keterbukaan dan keterkungkungan, antara keberbedaan dan sentralistik, antara rational dan emosional.

7. Kontinuitas dalam Pemikiran Marx
Sesuai fakta, bahwa ide-ide dasar tentang manusia, sebagaimana yang dikatakan Marx dalam Manuskrip tentang Ekonomi dan Filsafat, serta kaitannya dengan ide-ide tantang Marx tua, sebagaimana yang dituangkan dalam capital, adalah tidak mengalami perubahan yang sangat mendasar, dan ternyata Marx tidak meninggalkan beberapa pandangan awalnya.
Sesuai dengan perjalanan waktu, tentang kontinuitas dalam pemikiran Karl Marx, walaupun tidak terlalu banyak perubahan, namun dia menjadi enggan untuk menggunakan istilah-istilah yang sangat dekat dengan idealisme Hegelian, bahasanya menjadi kurang antusias dan eskatologis, dan pada tahun-tahun terakhir hidupnya menjadi kurang bersemangat. Dengan kenyataan demikian, sesungguhnya keadaan jiwanya, bahasanya, inti filsafat yang dikembangkan Marx muda tidak pernah surut dan tidak pernah berubah, serta konsep sosialismenya dan kritik terhadap kapitalisme selalu muncul pada tahun-selanjutnya dengan tetap berlandaskan pada konsep-konsep yang mengkristal pada Karl Marx muda.

8. Marx sebagai Seorang Manusia
Marx sebagai seorang manusia biasa sudah barang tentu mempunyai kebutuhan biologis, dalam tulisan Erich Fromm (2001), mengatakan, bahwa mungkin hanya ada sedikit saja rumah tangga yang dikenal dunia luas karena mampu memenuhi kebutuhan secara manusiawi hubungan suami-istri secara luar biasa sebagaimana rumah tangga Karl dan Jenny Marx. Perkawinan mereka diliputi cinta yang tak tergoyahkan walaupun mereka sarat dengan kemiskinan, penderitaan, tantangan yang serba pahit dan getir, dan kemelaratan serta dilanda penyakit. Keutuhan perkawinan tersebut bisa langgeng, jika disangga oleh dua orang yang memiliki kapasitas cinta yang luar biasa dan sangat mendalam. Kemudian hubungan Marx dengan anak-anaknya jauh dari noda dominasi, serta penuh dengan cinta yang produktif, kreatif, dan dinamis walupun tanpa harus dilimpahi harta benda yang tidak lebih hanyalah simbolis ketimbang nilai hidup dan kehidupan itu sendiri.
Gambaran tersebut di atas, hanyalah potret dari kepribadian Marx. Kesalahpahaman dan kesalah-penafsiran terhadap tulisan Marx sama dengan kesalahpahaman terhadap pribadi Marx. Marx adalah seorang humanis, dia sangat mengagungkan manusia sampai Erich Fromm mengemukakan sebagai beriukut:
sehingga secara serius dia mengekspresikan kekagumannya itu dengan berulang-ulang kali dengan mengutip ungkapan Hegel yaitu “Bahkan pikiran buruk seorang penjahat itu lebih agung dan mulia daripada orang-orang yang mengagumi surga.”(even the criminal thught of a malefactore has more grandeur and nobility than the wonders of heaven). (Erich Fromm, 2001:109).
Menurut Erich Fromm (2001),Idenya Marx tentang penderitaan sangatlah rendah hati, kejahatan yang sangat dibencunya adalah perbudakan, dan pribahasa favoritnya adalah “tidak ada manusia yang asing baginya “dan “orang harus meragukan segalanya”. Marx adalah seorang yang tidak mampu menoleransi kepura-puraan dan penipuan, sangat serius dengan masalah-masalah eksistensi manusia, serta rasionalisasi yang tidak jujur adalah musuh besarnya. Marx juga merepresentasikan tradisi Barat yang terbaiknya yaitu keyakinan atas kemajuan akal serta konsep manusia yang bertitik tengah kepada berpikir.


B.MANUSKRIP-MANUSKRIP TENTANG EKONOMI DAN FILSAFAT

1. Buruh yang Teralienasi
Dalam ekonomi politik, dalam arti katanya sendiri, para pekerja terbenam sampai menjadi komoditas yang paling sengsara, kesengsaraan tersebut semakin bertambah buruk dikala mana bertambahnya kekuasaan dan produksinya, hasil persaingan berarti sebagai akumulasi modal dari segelintir manusia untuk menindas manusia yang jumlahnya lebih besar sehingga sistem menopoli membentuk lebih buruk lagi. Kenyataan sebagai akibatnya, betapa kontradiknya yaitu menjadikan masyarakat terbagi dua yaitu, kelas pemilik yang kaya-raya dan kelas pekerja yang serba kekurangan (miskin).
Ada kontroversi yang takterpecahkan antara lain: Pertama, Ekonomi politik dimulai dengan buruh senyatanya sebagai jantung produksi dan kemudian tidak memberikan apapun kepada buruh, sementara buruh memberikan segalanya kepada pemilik pribadi. Kedua, adalah hubungan buruh yang teralienasi dengan kepemilikan pribadi diikuti dengan pembebasan masyarakat kepemilikan pribadi, perbudakan, mengambil bentuk politik, pembebasan para pekerja dari sifat ketidak kemanusiaan.

2. Hubungan Kepemilikan Pribadi
Hubungannya dalam kepemilikan pribadi, ada siklus yang menarik sebagaimana yang dikemukakan Erich Fromm (2001:145), yaitu pekerja menghasilkan modal dan modal menghasilkan pekerja. Makanya, pekerja menghasilkan dirinya sendiri, dan manusia sebagai pekerja, sebagai komoditas, adalah produk dari keseluruhan proses ini. Manusia secara sederhana adalah seorang pekerja, dan sebagai pekerja, kualitas kemanusiaannya hanya eksis demi modal yang justru menjadi asing baginya.
Dalam industri, dan lainnya sebagai lawan dari kepemilikan tanah, yang ada hanyalah modal awal dan antitesis dari pertanian yang dengannya industri telah berkembang. Karena buruh yang khusus, dan perbedaan yang lebih signifikan, penting dan komprehensif hanya ada selama industri sebagai salah satu ciri kehidupan diperkotaan. Kepemilikan secara pribadi, bertentangan dengan kepemilikan tanah, yangmana sangat feodal dan aristokratik serta masih dominan dengan ciri-ciri kontradiksi yaitu dalam bentuk menopoli, keahlian, serikat kerja, perusahaan, dan lain sebagainya. Namun kalau ditinjau dari segi perburuhan, buruh masih mempunyai makna sosial, masih memiliki signifikansi kehidupan komunal yang asli, dan belum mampu mencapai kemajuan yang sampai menetralitas yakni sampai kepada abstraksi dari semua eksistensi lain menjadi modal yang terbebaskan.
Kepemilikan tanah, yang berbeda dari modal, adalah kepemilikan pribadi, modal, yang masih dirundung prasangka politik, kepemilikan tanah adalah modal yang belum muncul dari keterlibatannya dengan dunia, modal yang belum berkembang. Sebagai hubungannya dengan kepemilikan pribadi adalah modal, buruh dan interkoneksinya.

3. Kepemilikan Pribadi dan Buruh
Menurut Erich (2001), dikatakannya dalam manuskrip, bahwa esensi subjektif daripada kepemilikan pribadi sebagai aktivitas untuk dirinya sendiri, sebagai subjek, sebagai orang, adalah buruh itu sendiri. Di bawah tamaram yang mengenal manusia, ekonomi politik yang prinsipnya buruh, sampai pada kesimpulan logis yang menolak manusia. Manusia tidak lagi berada dalam kondisi ketegangan eksternal dengan substansi eksternal kepemilikan pribadi sehingga menjadikan dirinya sebagai mahluk yang memiliki barang pribadi yang ditunggangi ketegangan.
Di bagian lain dalam pernyataan sebagaimana tertuang dalam buku ini yaitu menafikan, bahwa antitesis antara ketakberpemilikan dan kepemilikan masih merupakan anti tesis yang tidak pasti, kemudian juga tidak dipahami sebagai hubungan intrinsiknya, namun juga bukanlah suatu kontradiksi, sepanjang antitesis tersebut tidak dimengerti sebagai antitesis antara buruh itu sendiri dengan modal.
Dalam sistem kepemilikan pribadi, manifestasi memiliki makna yang berlawanan. Sebagaimana kita ketahui setiap manusia berspekulasi dengan menciptakan kebutuhan baru untuk memaksanya menyerahkan pengorbanan baru, untuk menempatkannya dalam ketergantungan baru, dan untuk memikatnya kedalam kesenangan baru, sehingga dengan cara ini menjerumuskannya kedalam reruntuhan ekonomi, yang justru secara giat dicarinya.
Sebuah ma’na ungkapan yang logis Erich (2001:219), bahwa, jika saya tidak memiliki uang untuk bepergian, maka saya tidak memiliki kebutuhan. Sebaliknya, jika saya benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk bepergian, tetapi saya memiliki uang dan mempunyai dorongan untuk bepergian, maka saya memiliki kesempatan yang efektif. Berarti uang adalah merupakan sebuah kekuasaan yang melebihi makna kepemilikan itu sendiri.


C. PRIBADI MARX DALAM SOROTAN

1. Mengenang Marx (Oleh Paul Lafargue)
Menurut Erich (2001: 294), seseorang yang bernama Paul Lafargue dalam kenangannya mengemukakan bahwa Karl Marx adalah seorang yang langka di planet bumi ini yang dapat menjadi pemimpin dalam ilmu pengetahuan dan kehidupan publik sekaligus. Menurut Paul, dua aspek ini begitu menyatu dalam dirinya sehingga orang hanya dapat memahami karakteristiknya jika memandang Marx dengan jujur sebagai seorang sarjana serta pejuang dalam meletakan dan membangun pondasi sosialis.
Betapa luasnya Marx, dia tidak membatasi aktivitasnya dinegara kelahirannya saja. Sehingga ia berkata “Saya seorang warga dunia,” dan Saya aktif dimanapun saya berada.” Dan pada kenyataannya, berbagai peristiwa dan penganiyaan di Prancis, Belgia dan Inggris mendorongnya mengambil peran penting dalam beberapa gerakan revolusioner yang berkembang di beberapa negara antara lain seperti negara-negara tersebut di atas.
Seorang Karl Marx, sangat luar biasa, ia mampu membaca semua bahsa Eropa dan menulis dalam tiga bahasa yaitu; Jerman, Prancis, dan Inggris, sehingga mengundang decak kagum ahli-ahli bahasa. Dan kebisaan yang selalu dilakukannya adalah mengulang-ulang sebuah ungkapan “Bahasa asing adalah merupakan senjata untuk berjuang dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini”.
Marx sangat mengutamakan perpustakaan, walaupun perpustakaan Marx berisi lebih dari seribu buku yang dikoleksinya secara seksama, namun perpustakaan tersebut tetap tidak mencukupi baginya, sehingga selama bertahun-tahun secara teratur dan rutin dia mengunjungi British Museum, yang katalognya sangat -amat diapresiasinya.
Sebagai seorang yang berkeluarga, ia adalah seorang ayah yang sangat penyayang, ksatria dan ramah. “Anak-anak harus mendidik orang tuanya.” Dan ia tidak pernah memberi perintah, tetapi meminta mereka melakukan sesuatu yang diinginkan Marx sebagai hal yang menyenangkan atau membuat anak-anaknya merasa bahwa mereka tidak boleh melakukan apa-apa yang sebenarnya dilarang oleh Marx sebagai ayahnya.
Setelah kematian istrinya (meninggal: 2-12-1881), kehidupan fisik dan mental Marx mengalami kelabilan yang dijalaninya dengan sangat tabah. Kehancuran fisik dan mentalnya diperparah dengan menyusul kematian anak tertuanya, Nyonya Longuet, setahun kemudian. Sehingga kehidupan Marx menjadi berantakan dan akhirnya ia tidak tertolong lagi, maka tepatnya pada tanggal 14 Maret 1883 dalam usia enam puluh empat tahun, Marx meninggal dunia tergeletak di meja kerjanya (sangat mengagumkan, seorang pekerja keras sampai ajal menjemputnya, tanpa pamrih, kecuali terbangunnya pondasi sosialis di dunia ini).

2. Beberapa Catatan Singkat Marx (Oleh Eleanor Marx-Aveling/Anak Marx)
Masih menurut Erich (2001: 330), Sebagaimana penuturan anaknya, bahwa Marx ketika bercengkrama dengan anak-anaknya, mungkin Marx-lah orang yang paling luwes. Anak-anaknya memang tidak pernah mempunyai seorang teman bermain yang lebih menyenangkan kecuali ayahnya. Dikatakan anaknya, suatu kenangan yang indah dan pertama dengan ayah saya adalah ketika saya berumur sekitar tiga tahun, Marx memanggul saya dipundaknya mengelilingi kebun kecil kami di Grafton Terrace, dan menyuntingkan bunga dirambut keriting saya yang coklat. Sehingga Marx bagaikan seekor kuda yang sangat menyenangkan. Dan kiasan ini, juga bermakna dalam pemikul beban serta penarik beban dalam kehidupan kami.

3. Pandangan Singkat Frederick Engels
Menurut Erich, pandangan singkat Frederick Engels adalah sebagai berikut: “Kaum proleter Eropa dan Amerika yang militan, juga ilmu sejarah merasa sangat kehilangan dia. Segera kita rasakan berapa dekat jarak antara kelahiran dan kematiannya… Namanya akan terus hidup sepanjang zaman, begitu juga karyanya.” (Erich Fromm, 2001: 339).


D. KOMENTAR PENULIS

Buku yang berjudul “Konsep Manusia Menurut Marx” oleh Erich Fromm ini di samping penting artinya bagi masyarakat, lebih dari itu juga untuk meluruskan pemahaman terhadap pemikiran filosofis dan historis Karl Marx sehingga bisa menumbuhkembangkan ide-ide gemilang dari Marx dan diharapkan akan membantu dalam mengoreksi atas distorsi dan penyimpangan ide-idenya yang dilakukan oleh orang-orang yang anti-Marxis dan atau sekadar menyebut dirinya sebagai Marxis.
Dalam sebagian sisi sebenarnya juga sangat perlu penyaringan yang seksama atas teori Marx sebagaimana tentang materialisme historis kaitannya dengan kebijakan negara, bahwa negara, dalam bentuk kediktatoran proletar, merupakan sebuah tahapan transisi yang dibutuhkan untuk menuju masyarakat tanpa kelas, dan setelah konflik kelas tuntas, maka negara akan lenyap dengan sendiri dari latar sosial. Dalam hal ini, Marx kurang tepat dalam hal analisisnya mengenai sifat negara yang sesungguhnya dan signifikansi sejarah tentang kekuasaan politik. Namun kekurangtepatan tersebut adalah logis sebagai konsekwensi materialisme ekonomi, yang menganggap semua fenomena sejarah sebagai beberapa akibat dari metode produksi yang tidak bisa dihindari. Sebagai realita, betapa banyak perkembangan ekonomi sebuah negara mundur ratusan tahun sebagai akibat pahit dari kesalahan atau keambrukan dari penentuan kebijakan oleh negara yang berkuasa agar tetap berkuasa.
Walau ada kontradiksi terhadap pemikiran Marx, namun konsep manusia menurut Marx tidak serta merta diabaikan begitu saja, masih teramat banyak konsepsi yang ideal serta tepat dan tidak dimiliki oleh pemikir lainnya untuk menjawab dalam pembebasan spritual manusia dari ikatan-ikatan yang serba sentralistik, pembebasan dari belenggu determinasi ekonomi agar manusia dapat menemukan harmoni sesama beserta alam sekitar walaupun langkahnya sangat radikal dan masih tergolong sangat hati-hati khususnya bagi bangsa Indonesia karena nama Karl Marx sering dikaitkan dengan sejumlah atribut-atribut negatif misalkan; Pembrontak, Totaliter, Ateis, dan lain sebagainya, padahal itu tidak sepenuhnya benar dan lebih kepada fitnah.Sesungguhnya, kalau mau berfikir secara terbuka, jernih, dan jujur, betapa banyak ide-ide yang memupuk renaisans humanis yang sedang terjadi dan dibutuhkan pada saat sekarang ini.
Kehidupan dalam keluarganya, Karl Marx sangat harmonis dan tidak banyak didunia ini yang bisa menandinginya, kecuali kehidupan para nabi dan rasul yang tidak pada tataran dan sebanding diskusi ini, dalam hal ini diungkapkan Erich di dalam buku Konsep Manusia Menurut Marx ini, yang mana seorang istri Marx secara lugas mengatakan:
Oleh karena dia selamanya adalah pasangan saya, Kesempatan tidak pernah mengubah cinta saya, Waktupun tidak bisa memisahkan kami” (Erich Fromm, 2001: 337).
Kata-kata tersebut meluncur di saat mereka ditengah-tengah mengarungi dunia yang sarat dengan badai dan tekanan, pengusiran, kemiskinan dan kemelaratan, fitnah, perjuangan yang keras dan sangat dahsyat. Tetapi keluaarga Marx tak tergoyahkan, itu tidak lain karena dibangun dari kumpulan pribadi-pribadi seorang manusia yang sungguh luar biasa kebaikannya menurut ukuran komunitasnya pada saat itu sehingga terwujud rumahtangga atau keluarga yang begitu luar biasa harmonisnya yang sekaligus sebagai salah satu sumber dan atau dasar pengkajian konsep-konsep atau pemikiran-pimikiran untuk meletakan pondasi sosialis sekaligus juga menyangkal diantara penafsiran-penafsiran miring terhadap kepribadian Karl Marx.

JURNAL: MANUSIA, KERJA, DAN HUKUM

JURNAL: MANUSIA, KERJA, DAN HUKUM
(Sekilas Kajian tentang Keadilan Sosial Perburuhan di Indonesia)
Oleh:
Sabian Utsman


Abstract

Pada hakekatnya manusia bukan hanya merespon, tetapi “social action” berdasarkan rasionalitas, sehingga jadilah satuan-satuan kerja yang diciptakan dari dan untuk manusia itu sendiri. Manusia bekerja adalah untuk melaksanakan tugas suci (gairah agama), luhur, dan wujud syukur kepada Allah Swt. (Q.S. Ibrahim:7). Ketidakkonsistenan (konflict) dalam kontrak social kerja selalu ada sepanjang sejarah perburuhan sesuai proses dan tingkatannya, makanya perlu payung hukum “Het recht wil den Vrede” (tujuan hukum adalah kedamaian)
Bekerja (buruh dan majikan) yang baik adalah memperhatikan kontrol hukum yang kuat (law in action tidak hanya law in book), economic reward, cruss cutting offiliations, serta antara yang memiliki dan tidak memiliki alat produksi (buruh dan majikan) sama-sama menghormati entitas manusia yang sangat tinggi (human right).
Proses aksi manusia yang berwujud pekerjaan, tidak semata dilihat sebagai aktivitas fisik, namun juga aktivitas sosial yang dinamis, dan menelurkan perubahan dari agraris kepada industrialis. Dalam hubungan kerja, kontrol hukum (termasuk kehadiran asosiasi buruh) dan scientific management adalah jawaban representatif sepanjang mengutamakan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.

Keywords: Manusia, Kerja, dan Hukum Perburuhan

1. Pendahuluan
Sebelum lebih lanjut mengetahui manusia, kerja, dan hukum maka ada baiknya kita mengetahui apa sesungguhnya yang dimaksud manusia sebagai makhluk bertindak. Soeprapto, (2002: 145) menyatakan bahwa teori intraksionisme simbolik memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu pengertian yang mendalam, yakni suatu mahluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi. Dalam pengertian ini, manusia sebagai suatu makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, bukanlah makhluk yang hanya merespon saja, akan tetapi makhluk yang bertindak atau beraksi; suatu makhluk yang harus mencetak sederetan aksi berdasarkan pada perhitungan; tidak hanya berfungsi melepaskan respon pada interaksi sosial yang ada.
Disebut manusia kerja karena ia melakukan beberapa tindakan yang bukan saja merespon, tetap beraksi berdasarkan perhitungan-perhitungan matang sehingga menjadilah satuan-satuan kerja yang diciptakan oleh dan untuk manusia itu sendiri.
Ditinjau dari kacamata sosiologi, bahwa kerja itu tidaklah hanya sebagai aktivitas fisik belaka, tetapi didalamnya ada aktivitas sosial yang terorganisir dalam beberapa sistem. Menurut Usman (1998:87), membagi hubungan kerja menjadi dua hal; pertama, pilihan strategi yang dilembagakan pemberi kerja untuk mengontrak pekerja (buruh), kedua, pilihan respon yang dibangun oleh buruh dalam mengakomodasi kontrol, baik dalam proses produksi maupun dalam masyarakat.
Yang melatari bahasan ini adalah karakteristik buruh kaitan dengan aktivitas social ekonomi perburuhan dan hukum, maka yang akan dibahas tidak terlepas dari hubungan kerja, kontrak produksi, kiat mengakomodasi kontrol, dan perangkat peraturannya.
Dalam hubungan kerja kaitannya dengan aktivitas ekonomi, maka menjadi penting untuk melihat karakteristik aktivitas ekonomi, struktur tenaga kerja dan sistem hubungan kerja yang hadir bersama industri, serta payung hukum yang menjamin tegaknya human right.
Hubungan kerja antara buruh dengan pemberi kerja adalah adanya model manajemen yang dibangun sebagai strategi dalam upaya mengontrol buruh, yang lebih populer disebut dengan istilah manajemen ilmiah (scientific management). Management ini ditujukan agar bisa mengatur pekerjaan dan membuat pekerjaan yang lebih efisien, sehingga buruh bukan hanya melakukan pekerjaan semata-mata hanya mengikuti perintah, akan tetapi menghasilakn sesuatu yang diharapkan baik buruh, maupun yang memberi pekerjaan. Dalam hal ini Usman, (1998: 92) menyatakan adalah satu hal penting yang ingin ditekankan dalam manajemen ini adalah bagaimana mengatur agar pekerjaan dapat cepat selesai, berjalan lebih efisien dan mengaitkan pendapatan buruh dengan output yang dihasilkan (keadilan distributif). Dalam konteks ini, manajemen diharapkan bertanggungjawab pada bagaimana seharusnya pekerjaan dilakukan sehingga buruh melakukan pekerjaan tidak semata-mata hanya karena memenuhi perintah, melainkan karena benar-benar ingin menghasilkan sesuatu.
Hubungan pekerja dengan yang memberi pekerjaan sebenarnya sudah diberi payung hukum untuk perlindungan para pihak sehingga mengakomodasi kontrol semakin terwujud. Hal ini secara yuridis formal memang diatur dalam kesepakatan dalam kontrol kerja, namun senyatanya dalam beberapa pengalaman empiris masih banyak ditemui ketidakkonsistenan para pihak dalam mematuhi ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Secara yuridis formal, hubungan antara pengguna dan atau pemberi kerja dengan buruh diatur dalam bentuk kontrak kerja, yang disepakati bersama sehingga isinya dengan tegas mengatur tentang hak dan kewajiban sebagai dasar mereka melakukan tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan pekerja maupun yang mengadakan pekerjaan.

2. Manusia dan Kerja
a. Hubungan Kerja
Dalam hal hubungan kerja, kita sebagai manusia mempunyai kesamaan hak paling asasi atas pemberian Allah Swt, atas dasar itu pula kita mempertanyakan “sudahkah sistem hubungan kerja yang selama ini melembaga mendatangkan kesejahteraan dan apa bila ternyata belum, apakah sebagai penyebabnya”.
Sebelum menjawab persoalan tersebut di atas, maka ada baiknya kita mengkaji karakteristik ekonomi, struktur tenaga kerja yang hadir secara bersamaan dengan industri. Melaksanakan kewajiban dengan bekerja, maka haruslah bekerja keras, karena dengan bekerja keras banyak hal yang kita peroleh antara lain; merepleksikan rasa syukur, menghilangkan kebimbangan, serta melaksanakan tugas suci dan luhur atas perintah dan atau doktrin agama. Allah Swt befirman dalam Q.S. Ibrahim: 7: dalam Bakry, (1984: 487) berbunyi “Dan (ingatlah) di waktu Tuhan kalian memperingatkan, jika kalian bersyukur, niscaya aku akan menambah nikmat-Ku kepada kalian dan jika kalian kufur, maka azab-Ku amat berat sekali. Sesuai firman Allah Swt tersebut, kaitannya dengan kerja dan kontrak kerja, maka repleksi syukur kepada Allah Swt juga mempunyai makna bahwa kontrak social itu mempunyai demensi taqwa yang bukan hanya mu’amalah tetapi juga bermakna ibadah (bukan hanya solidaritas social ekonomi semata, tetapi solidaritas ekonomi yang benilai ibadah) sehingga semakin giat dan teratur dalam bekerja (pengemban amanah Allah Swt), maka semakin besar kenikmatan yang diperoleh sesuai janji Allah Swt kepada hamba-Nya.
Kemudian doktrin Calvinisme dalam Usman,(1998:103) menyatakan, melaksanakan kewajiban dengan kerja keras adalah jalan untuk membangun dan memperoleh kepercayaan diri, menghilangkan kebimbangan dan memberi pengertian pada rasa syukur. Itulah sebabnya dalam doktrin Calvinisme kerja tidak diletakkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi sebagai suatu tugas suci. Sikap hidup keagamaan yang dikehendaki oleh doktrin Calvinisme adalah innerwordly osceticien, yaitu intenspikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja.
Dalam karakteristik aktivitas ekonomi, tidak terlepas kita juga membicarakan manusia dan kerja yang mana sebagai kunci pokok dari terjadinya perubahan sosial ekonomi yang sekaligus juga memberi stimulan untuk meningkatkan deferensisasi struktur sosial. Dalam konteks perubahan sosial, Soekanto (1990:333) dalam Soeprapto (2002:25), mengatakan bahwa perubahan sosial, hanya bisa diamati, diketahui atau dikemukakan oleh seseorang melalui pengamatan mengenai susunan, struktur dan institusi suatu perikehidupan tertentu dimasa lalu, dan sekaligus membandingkannya dengan susunan, struktur dan institusi suatu peri kehidupan dimasa kini, tidak ada masyarakat yang tidak berubah, semua masyarakat bersifat dinamis, hanya laju dinamikanyalah yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Walau dikenal juga masyarakat statis dan masyarakat dinamis.
Masyarakat statis adalah masyarakat yang cendrung mengalami perubahan yang sangat lambat bahkan pada sektor-sektor tertentu mengalami kemunduran kalau tidak mau dikatakan stagnan (stagnation) seperti halnya budaya pada daerah-daerah tertentu. Sedangkan masyarakat dinamis adalah masyarakat yang cepat sekali mengalami perubahan dengan segala konsekwensinya. Sebenarnya kedua karakteristik tersebut di atas, baik statis maupun dinamis, bagi manusia dan atau semua manusia tanpa kecuali pasti sama-sama mempunyai potensi dari dalam dirinya untuk berubah, hanya saja yang menjadi perbedaan itu adalah rentang waktu dan atau lambat–cepatnya proses perubahan itu sendiri.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perubahan sosial dan diferensiasi struktural dapat mengganggu integrasi sehingga berpotensi yang berakibat terjadinya disintegrasi. Sebagai jawaban terhadap hal tersebut, adalah peningkatan rasionalisasi kembali memberi stimulan balik pada perubahan sosial dan diferensisasi struktural. Hal ini sebagai siklus berlanjut menandai the way of doing serta the way of thingking kehidupan masyarakat industri.
Di belahan dunia manapun, bahwa kehadiran industri tidaklah semata hanya merubah struktur tenaga kerja, tetapi juga mempengaruhi sistem hubungan kerja. Paling tidak perubahan strukturnya terjadi secara sistemik, sebelumnya masyarakat tidak mempunyai pekerjaan tetap dan atau belum bekerja secara teratur sehingga tidak mempunyai penghasilan yang tetap, maka dengan kehadiran industri, masyarakat dan atau sebagian besar masyarakat menjadikan dirinya sebagai pekerja tetap dan berpenghasilan tetap pula.
Dalam realita perubahan social pekerja buruh seperti di atas, bisa juga kita lihat dari masyarakat agraris kepada masyarakat industri, sebagaimana proses yang biasanya terjadi seperti berikut; masyarakat pra-industri (termasuk budaya agraris) adalah sebagian besar masyarakatnya, kemudian sebagai motivasi bekerjanya hanyalah untuk memenuhi konsumsi keluarganya (family worker), kebutuhan ekonominya, dan atau memenuhi usahanya sendiri (self-emplayed) yang kesemua satuan kerjanya adalah ditandai oleh hubungan yang lebih bersifat pribadi (personal relationship).
Kalau kita melihat kehidupan ekonomi masyarakat industri, konsentrasi tenaga kerja lebih banyak berada di workshop dan atau pabrik. Apabila workshop dan atau pabrik semakin besar dan jumlah tenaga kerja semakin banyak, maka kontak dan atau komunikasi personal antara pekerja dan pemberi kerja semakin menipis dan hanya dilakukan kalau dianggap sangat perlu, maka situasi seperti inilah terkadang kebanyakan buruh yang teralienasi dan atau bahkan kehilangan haknya atas barang-barang yang justru dihasilkannya sendiri. Padahal besar dan atau kecilnya suatu usaha atau pabrik yang tidak bisa diabaikan adalah keberadaan buruh yang berada di ujung tombak dalam memajukan sistem industri dan pasar yang bersangkutan. Dalam hal ini tidaklah mengherankan apabila status buruh tereduksi menjadi komoditi sesuai permintaan dan atau kebutuhan pasar sehingga harga buruh tergantung ramai dan atau sepinya pasar. Berkaitan dengan itu, maka paling tidak ada dua implikasi yang perlu dicermati:
1). Tentang Upah; kondisi dan penampilan buruh pemilik, pengguna atau pemberi kerja lebih sering diperhitungkan sebagai bagian dari proses dan pengeluaran untuk memperoleh keuntungan.
2). Tentang Keterampilan; karena keterampilan yang laku jual (marketable skill) menjadi basis penghargaan, mereka yang mempunyai keterampilan semacam itu selalu berusaha mengontrol kondisinya agar tidak tersaingi. Tetapi disisi lain, pemilik sendiri selalu berusaha sedemikian rupa sehingga proses produksi tidak sangat tergantung pada orang-orang yang memiliki marketable skill itu.
Dalam hal tersebut di atas, ada konsepsi penting dalam memberikan cara yang paling murah dan sederhana yaitu membagi pekerjaan menjadi elemen-elemen kecil, aktivitas kerja diusahakan agar berjalan rutin saja, monoton sesuai dengan jenis pekerjaan atau kegiatan yang telah dibebankan. Dalam kondisi demikian, pengetahuan dapat dimonopoli dan proses produksipun menjadi mudah dikuasai. Tetapi pada kondisi-kondisi tertentu dan atau pada pabrik-pabrik yang memang menjadikan training sebagai jaminan tertentu untuk kemapanan masa depannya, maka training perlu diadakan. Karena dengan memberi peluang diadakannya training (kalau memang perlu) dengan tetap membagi pekerjaan menjadi elemen-elemen kecil adalah semakin menambah kuat pondasi industri yang bersangkutan.

b. Kontrol Produksi
Untuk mengontrol buruh, dengan istilah manajemen ilmiah (scientific management) yaitu satu bangunan model manajemen yang dipergunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam kerangka kontrol kepada buruh. Hal-hal yang ditekankan dalam hal ini adalah bagaimana cara-cara mengatur agar setiap satuan pekerjaan itu cepat diselesaikan dengan tepat dan efisien serta lebih efektif, kemudian menjaga keseimbangan pendapatan buruh kepada output dan atau produksi yang dihasilkan buruh itu sendiri. Sasaran penting dalam scientific management ini juga berimplikasi kepada tanggungjawab pada bagaimana seharusnya buruh tidak hanya melakukan pekerjaan berdasarkan perintah semata tetapi lebih kepada bagaimana mendapatkan hasil yang diinginkan dan menegakkan human right sesuai kemampuan dan perencanaan sebelumnya.
Sesungguhnya manajemen ilmiah itu sudah diterapkan hampir seabad yang lalu terutama perindustrian atau perusahaan di daratan eropa, yang tidak hanya diatur besaran insentif yang layak diberikan kepada buruh, tetapi adanya keteraturan dan rincian aktivitas kerja pada perusahaan yang meliputi, antara lain; pengaturan kerja, masuk, istiraht, pulang kerja, serta alat-alat yang seharusnya dipergunakan dan lain-lainnya sesuai kebutuhan buruh dan perusahaan. Dengan demikian diharapkan sangat efisien untuk meningkatkan produktivitas kerja yang akhirnya secara sistematis meningkatkan hasil produksi perusahaan sekaligus pula sama dengan kepentingan peningkatan kesejahteraan buruh sebagai manusia dengan segala hak yang dimilikinya.
Dalam hal pengaturan kerja, apabila semunya diatur dengan ketat, maka keinginan dan kreasi mereka bisa terabaikan. Hasil pekerjaan buruhpun bisa kurang memuaskan, terutama potensi yang mereka miliki kurang dihargai dan akan lebih buruk lagi manakala mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan untuk pekerjaan mereka sendiri serta bekerjapun harus mengikuti ”law in book” tidak “law in action” sehingga sesuai ketentuan yang berlaku serta tidak memperhatikan kepentingan ekonomi buruh. Seperti biasa, dengan asumsi bahwa setiap buruh dan atau orang sangat berkepentingan kepada kesejahteraan dan atau perbaikan ekonomi serta keharmonisan pergaulan dalam suasana kerja (wellevendheid), kesadaran akan perdamaian (de overtuiging van vreedzaamheid), serta kesemuanya itulah yang membela hukum untuk sopan-santun (Zeden), maka dengan asumsi itu untuk menjawab persoalan di atas, bagi pengguna tenaga kerja antara lain agar merasionalkan jumlah penghasilan atau memberi penghargaan ekonomi (economic reward). Yang menjadi kerisauan kita adalah apakah benar penghargaan ekonomi akan memuaskan buruh. Karena yang melekat dalam motivasi buruh itu sangat banyak sekali dan bukan satu-satunya ekonomi. Namun masih banyak industri yang mempertahankan manajemen ilmiah ini, walau harus ditempuh dengan elaborasi dan atau penyesuaian dengan kondisi yang berkembang.
Manajemen ilmiah ini sangat mementingkan kemampuan mengontrol setiap tahapan proses, dan satuan kerja, gagasan menjadi salah satu yang sangat penting juga, sehingga bisa merancang pekerjaan secara efektif dan efisien dan setiap buruh menerima intraksi yang jelas, deskripsi pekerjaan yang rinci, dan mampu menggunakan sarana sebaik mungkin. Sebagai konsekwensinya terjadilah penggolongan pekerjaan dengan berdasarkan ketrampilan (skill), serta diidentifikasi semua pekerja tentang pengetahuan yang dimilikinya. Yang mana untuk dasar pembagian antara tenaga ahli dan tenaga manual.
Ada beberapa kelemahan model manajemen ilmiah ini, salah satunya adalah mengabaikan keyakinan, moral, dan nilai sosial yang justru melekat di dalam diri buruh dan atau pekerja itu sendiri. Oleh karena itu model manajemen ilmiah perlu adanya memasukan prinsip-prinsip hubungan kemanusiaan yang memadai. Sehingga terwujudnya proses penyesuaian antara motivasi yang bersifat ekonomi dengan motivasi yang bersifat sosial.
Buruh sebagai makhluk sosial disamping sebagai makhluk individu, sudah barang tentu di dalam kehidupannya tidaklah hanya ada keterikatan kepada yang berkaitan dalam proses produksi semata, tetapi banyak hal yang menjadi keharusan seoarang buruh untuk berkelompok dan atau membanguan keterikatan diluar fungsinya sebagai buruh (cruss cutting-offiliatios) sehingga terjalin hubungan social yang dilekati rasa saling pengertian dan tidak mungkin mengabaikan dengan kelompok-kelompok informal walau tidak terkait dengan ketentuan formal.

3. Kiat Mengakomodasi Kontrol Melalui Hukum Perburuhan
Berdasarkan sejarah perkembangan hukum perburuhan sebagai alat kontrol system kerja buruh kaitan dengan penegakkan “human right”, bisa saja kita cermati riwayat hubungan kerja buruh dari perbudakan, pekerjaan rodi, punale sanksi, bahkan sampai hubungan kerja modern, maka sangatlah jauh lebih baik nasib para buruh pada masa sekarang ini, walaupun khususnya di Indonesia masih perlu peningkatan perlindungan terhadap buruh. Hal ini bisa kita lihat pada masa perbudakan yang mana diri para budak (zaman perbudakan) adalah milik orang yang mempekerjakannya, bukan sebatas perekonomian semata, tetapi hidup dan matinya. Sebagai contoh, seorang raja apa bila ia wafat agar selalu mempunyai pengiring, seperti; pelayan, selir, dan pekerja lainnya, maka dibunuhlah budak-budak tersebut untuk kepentingan rajanya (sebagai pemilik para pekerja). Dalam Soepomo, (1990: 10) menyatakan pada zaman perbudakan, para budak itu sebagai milik orang lain, hidup-matinya ditangan orang yang memilikinya. Soepomo mencontohkan pada tahun 1877, pada waktu meninggalnya seorang raja di Sumba, seratus orang budak rela di bunuh agar raja itu di dunia baka nanti akan mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan pekerja lainnya.
Dalam hukum perburuhan secara jelas telah mengatur baik kepentingan buruh maupun pengguna buruh bahkan kalau ada perselisihan dalam perburuhan juga diatur dalam hukum perburuhan, sesuai prosedur dalam penyelesaian permasalahan perburuhan tersebut baik melewati P4-D dan P4-P atau cara lainnya dan selalu dalam koridor hukum perburuhan, itu artinya secara yuridis formal, hubungan antara pengguna atau pemberi kerja dan atau buruh sudah diatur sesuai ketentuan, seperti halnya pembuatan kontrak kerja berisi hak dan kewajiban pihak-pihak yang membuat kontrak tersebut. Namun senyatanya dibanyak perusahaan dan atau industri di Indonesia khususnya, apa yang teramat dalam butir-butir kontrak kerja tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan konsekwen dan atau pembuatan kontrak kerja harus menempatkan posisi buruh sebagai manusia yang termarjinalkan bahkan terkadang berada pada posisi dichotomis (object problem).
Kalau kita cermati, secara yuridis formal, hubungan antara pengguna atau pemberi kerja dan buruh secara pasti diatur dengan kontrak kerja yang seharusnya dicapai berdasarkan kesepakan bersama. Kemudian di dalam kontrak kerja, dimuat hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terkait. Namun, berdasarkan pengalaman empirik menunjukkan bahwa tidak semua yang tertulis (law in book) atau yang sudah disepakati dapat dilaksanakan. Dalam kenyataannya, sejumlah butir yang tertera dalam kontrak tidak lebih dari pada sekadar slogan yang enak didengar tetapi teramat sukar direalisasikan pada tataran “law in action”.
Meskipun demikian adanya, sesungguhnya masih ada peluang dan atau tempat untuk memperjuangkan nasib buruh yang mampu bergerak untuk kepentingan krusial nasib kolektif buruh dari pada hanya sekadar berkumpul dan silaturahmi semata. Di Indonesia misalkan banyak terdapat advokasi-advokasi atau lembaga-lembaga masyarakat yang bergerak dibidang perburuhan walaupun tidak semuanya berpihak kepada yang benar yaitu secara proporsional dan profesional memperjuangkan yang memang menjadi hak buruh setelah mereka memenuhi kewajibannya sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku serta merupakan konsensus bersama antara pengguna dan pemberi kerja yang terwujud dalam kontrak kerja.
Kenyataan yang berkembang, dalam masyarakat industri, asosiasi buruh bukan semata-mata merupakan wadah untuk saling mengenal dan silaturahmi belaka, namun lebih dari itu adalah sebuah “gerakan” yang dapat menampung berbagai macam keluhan dan kepentingan buruh yang muncul bersamaan dengan proses produksi. Sebagian asosiasi buruh membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta mengadakan pertemuan rutin untuk membahas masalah-masalah krusial yang berkembang dikalangan buruh, bahkan tidak jarang menjembatani sengketa dan atau permasalahan buruh kepada advokasi yang kemudian ditugasi untuk memperjuangkan hak-hak buruh di jalur peradilan. Di sisi lain, asosiasi buruh kemudian berkembang menjadi asosiasi politik yang memiliki peluang untuk mempersoalkan hak-hak buruh yang berkaitan dengan proses produksi, bahkan di Indonesia pada waktu-waktu terakhir ini suara buruh sudah menjelma berbentuk partai politik.
Dalam hal penyelesaian persoalan-persoalan buruh, keterlibatan asosiasi sangatlah banyak membantu terutama apa bila mempertemukan pihak buruh, perusahaan, dan pemerintah, serta menjadi terselesaikan masalah yang sedang dihadapi (baik melalui P4-D maupun P4-P). Sehingga kalau asosiasi itu betul-betul tidak terpisahkan dengan kepentingan yang diperjuangkan buruh, maka makna perbudakan dalam diri para buruh betul-betul tidak ada lagi. Sebagaimana diamanatkan pasal 115 --117 Regeringsreglement setelah itu menjadi pasal 169 – 171 Indische Staatsregeling. Budiono, (1995:23) menyatakan bahwa setelah melalui proses yang cukup panjang, tepatnya th 1854, perbudakan di nyatakan di larang. Pasal 115 sampai dengan 171 Regeringsreglement yang kemudian menjadi pasal 169 sampai dengan 171 Insche Staatsregeling dengan tegas menetapkan bahwa paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia harus di hapuskan. Dengan demikian paling tidak, ada jaminan penegakan human right menjadi semakin tinggi, sehingga ada keseimbangan posisi tawar dalam proses kepentingan hak dan tanggungjawab yang diperjuangkan buruh itu sendiri.

4. Penutup
Dari paparan tentang “Manusia, Kerja, dan Hukum” dimuka, maka penulis dapatlah menyimpulkan sebagai berikut:
a. Manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kerja yang diciptakan untuk manusia itu sendiri. Dalam hal kerja tidaklah semata dilihat sebagai aktivitas fisik, tetapi juga sosial yang terorganisir dalam sistem sesuai kondisi yang berkembang.
b. Dalam hubungan kerja, dengan bekerja keras adalah jalan untuk membangun diri baik kepercayaan diri, implikasinya terhadap gairah perintah agama yang suci, maupun wujud syukur kepada Allah Swt, demikian juga konsekwensi doktrin Calvinisme (innerwordly osceticien) yang menempatkan entitas manusia bermakna “intenspikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam proses kegairahan kerja”. Konsekwensi kerja keras adalah perubahan dan dengan perubahan juga sebagai stimulan untuk meningkatkan deferensiasi struktur social (dari masyarakat agraris ke masyarakat industri).
c. System kontrol hukum perburuhan dan scientific management adalah jawaban yang representatif untuk kerja buruh yang sekaligus kontrol produksi, namun kelemahannya antara lain mengabaikan keyakinan, moral, dan nilai sosial yang justru melekat dalam diri buruh itu sendiri. Oleh karena itu keberadaan peraturan-perundangan dan manajemen perburuhan tersebut perlunya nilai-nilai atau prinsip-prinsip hubungan atas dasar kemanusiaan.
d. Dalam kiat mengakomodasikan kontrol, disamping keberadaan P4-D dan P4-P, maka kehadiran asosiasi buruh adalah sangat membantu dalam memperjelas dan atau merealisasikan kontrak kerja yang menjamin hak dan kewajiban buruh secara baik.
Sebagai mana kita lihat masih adanya buruh diberbagai daerah yang masih mempersoalkan hak dan kewajibannya, yang dipicu bukan saja adanya persaingan tetapi terkadang persaingan yang tidak sehat, serta sangat lemahnya supremasi hukum tentang perburuhan, maka salah satu cara adalah menggalakan “scientific management” dan mengintensifkan kinerja asosiasi buruh sehingga bukan saja hanya berkutat masalah upah, cuti, dan pembagian tugas, tetapi secara konprehenshif mengaktualisasikannya ke ranah Human right, economic reward, adanya cruss cutting-offiliation, dan keharmonisan suasana kerja, sehingga buruh juga merasa memiliki hasil produksi sama dengan pentingnya kesejahteraannya sendiri.


DAFTAR BACAAN

Bakry, Oemar, H. (1981), Tafsir Rakhmat,Jakarta: Mutiara
Budiono, Rachmad, (1995), Hukum Perburuhan Indonesia, Malang:PT.Raja Grafindo Persada
Djumadialdji, (1981), Pemutusan Hubungan Kerja, Yogyakarta: PT.Bina Aksara
Dahrendorf, Ralf (1986), Class and Class Conflict in Industrial Society, Jakarta:CV. Radjawali.
Usman,S.(1998), Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rocker, Rudolf (2001), Anarcism and Anarcho-Syndicalism; Anarcist Classics, Yogyakarta: Sumbu
Soeprapto, Riyadi, R.H. (2002), Interaksionisme Simbolik, Malang: Pustaka Pelajar.
Soepomo, I. (1990), Hukum Perburuha,Jakarta: Djambatan
Soepomo, I. (1996), Hukum Perburuhan (Undang-undang dan Peraturan-peraturan), Jakarta: Djambatan
Purbacaraka, Purnadi & Soekanto, Soerjono. (1983), Menelusuri Sosiologi Hukum Negara, Jakarta: CV. Rajawali.
Hendricks, W. (2001), How to Manage Conflict, Jakarta: Bumi Aksara

Selasa, 10 Februari 2009

JURNAL: KONFLIK NELAYAN

KONFLIK DAN SOLIDARITAS NELAYAN SAKATES
KECAMATAN KUMAI KALIMANTAN TENGAH
Oleh: Sabian Utsman 

ABSTRACT
Dikawasan Sabuai, Karaya, Teluk Bogam, dan Sungai Bakau (Sakates) terdapat 1043 orang nelayan, 345 unit kelotok dan perahu, serta 5 orang sebagai pemodal dari 3374 jiwa penduduknya yang mutlak (100%) memeluk agama Islam. Sakates termasuk dari 9261 desa di pesisir pantai Indonesia sebagai kantong-kantong kemiskinan dan berpotensi terhadap konflik. Sehingga antara tahun 1975-1998 terjadi konflik tertutup dan tahun 1998-2002 terjadi konflik terbuka, sebanyak 28 Kapal Trawl menjadi korban dari tujuh kali amuk massal. Sementara kontribusi pemerintah senyatanya dalam pengelolaan konflik masih jauh dari rasa keadilan yang mestinya diutamakan. Dan karakteristik protes masyarakat bisa dilihat melalui struktur symbolic dalam konflik dan solidaritas yang justru hanya sedikit diolah dan dimaknai Pemerintah setempat, sehingga kurang mampu membaca apa sesungguhnya ma’na di balik struktur konflik dan bangunan raksasa solidaritas communal yang terjadi.
  Selain lemahnya supremasi hukum, terjadinya anatomi konflik adalah benih dari di satu pihak nelayan local mempertahankan kelestarian sumber daya laut atau hak ulayat laut sebagai daerah “food security” di lain pihak ketidak protektifan nelayan luar daerah terhadap sumber daya laut (biota laut) Sakates dengan mengoperasikan “jaring trawl” (melanggar Kepres No. 39 Tahun 1980).
  Struktur konflik di Sakates menjadi; Zero-Sum Conflict, Non Zero-Sum Conflict, dan ditemukan dalam penelitian penulis Sum and Conflict sebagai pengembangan teori dari Paul Conn yang hanya dua, yaitu: Zero-Sum Conflict dan Non Zero-Sum Conflict. Sebagai pengelolaan konflik yang ideal, penulis menawarkan agar mengutamakan pertimbangan sosiologis dalam menegakkan ketiga pilar supremasi hukum, yaitu: peraturan perundangan, aparat penegak hukum, dan kultur hukumnya. Paling tidak institusi negara mutlak harus akuntable, terbuka, transparan, dan kredibel.

Keywords: Konflik, Solidaritas, Pengelolaan Konflik


SIMPULAN
Kategori sosial masyarakat nelayan Sakates, yaitu; yang menguasai alat produksi disebut “Juragan” berjumlah 345.orang dan tidak memiliki alat-alat produksi disebut “Anak Buah” berjumlah 698 orang, dari tingkat investasi modal usaha; mereka sebagai pemodal ini disebut “Penampung” Berjumlah 5 orang. Dalam hal teknologi peralatan, ada dua kategori, pertama; peralatan tradisional sebanyak 2 buah perahu, kedua; peralatan semi modern (“Kelotok”) sebanyak 343 unit ( dengan1043 orang nelayan), dan nelayan luar daerah sudah memakai teknologi modern.
  Konflik dan Struktur Konflik, Paul Conn hanya membedakan menjadi dua saja yaitu “zero-sum conflict” dan “non zero-sum conflict” tetapai senyatanya di Sakates terjadi struktur “sum and conflict". Konflik yang terjadi di kawasan Sakates adalah antara nelayan lokal (in-group) dengan nelayan luar daerah (out-group). Terjadi perlawanan kolektif dari bersifat premitif mengarah kepada reaksioner untuk mempertahankan daerah “food security” bagi mereka.
  Benih konflik berawal dari terakumulasinya kekecewaan, kecemburuan, berutalnya nelayan-nelayan luar daerah mengoperasikan jaring trawl , keterbatasan sumber daya laut, serta lemahnya intervensi negara dalam pengelolaan konflik.. Sehingga th 1998-2002, sebanyak 28 buah kapal trawl menjadi korban amuk massa dan terjadinya konflik kekerasan adalah bagian dari kegagalan oleh pihak yang berkompeten,
  Solidaritas masyarakat nelayan tradisional Sakates, Sepanjang konflik (1998-2002), terjadinya solidaritas komunal yang tinggi yaitu atas dasar ikatan primordialisme, mereka mampu membangun raksasa solidaritas melampaui pemikiran yang sewajarnya dalam konsepsi tradisional setempat
  Dalam hal penanganan Konflik, Sesuai fakta secara kronologis bahwa variabel-variabel dan atau pola-pola yang menyebabkan kejengkelan kekecewaan nelayan lokal selama tidak kurang 23 th (1975-1998) paling tidak pihak-pihak yang berkompetensi tidak sedini mungkin mengolah konflik dengan baik, secara jelas tidak mampunya negara mengimplementasikan perundangan yang sudah diundangkan (seperti Kepres. No.39/1980).  
  Konsepsi yang saya tawarkan, walaupun upaya lain dilakukan juga sesuai kondisi konfliknya, namun tidak bisa terlepas dari penegakkan supremasi hukum, dalam hal ini mengutamakan pertimbangan sosiologis dalam menegakkan ketiga pilar supremasi hukum, yaitu; peraturan perundangannya, aparat penegak hukumnya, dan kultur hukum masyarakatnya.

Minggu, 08 Februari 2009

DASAR-DASAR SOSIOLOGI HUKUM (MAKNA DIALOG ANTARA HUKUM & MASYARAKAT)

DASAR-DASAR SOSIOLOGI HUKUM (MAKNA DIALOG ANTARA HUKUM & MASYARAKAT). Dilengkapi Contoh Proposal Penelitian Hukum (Legal Research)

catatan: Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Pelajar


Oleh: Sabian Utsman
Pengantar: Prof. H. Soetandyo Wignjosoebroto, M.PA

Hak Cipta 2009, pada penulis
dilindungi oleh undang-undang

Cetakan 1 2009
Penerbit: PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta
Telp. 62274381542, Faks. 62274383083
E-mail: pustakapelajar@telkom.net

Mengenang dan kudidekasikan pada:
Ayah & Bundaku; Mertuaku;

H. Anang Utsman (alm) --- Basoedi Bin Paidin (alm)

Hj. Qostaniyah (alm) --- Ny. Oerief Basoedi

Persembahan Buat;
Saudara-saudaraku yang selalu mendambakan keberhasilanku

Teristimewa Buat Isteriku;
Dra. Kustiyah Basoedi, M.Pd.
Dengan integritas keilmuan & ketajaman analisis bidang biologi, sebagai sumber inspirasi sehingga terwujudnya karya ini

Buah Hatiku;
Ma’ruf Kusbianto
Nugraha Kusbianto
Sophiastia Kusbianty

Si kecil kami yang lugas & lucu;
Muktibaskara Kusbianto

Motto
“Hai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang kuat menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Tuhan, biarpun terhadap dirimu sendidri atau ibu bapakmu atau kerabatmu; ataupun kepada orang kaya atau miskin, karena Tuhan dekat pada keduanya. Sebab itu janganlah kamu turutkan kemauan yang rendah (hawa nafsu) untuk tidak berlaku adil. Kalau kamu memutarbalikkan (kata-kata) dan enggan menjadi saksi, sesungguhnya Tuhan itu tahu benar apa yang kamu kerjakan”
(QS. An-Nisaa’: 135, Tafsir Rahmat,1983 :187)

If I am not for myself
who will be for me
but if I am only for myself
then what am I for ?

Hillel, dalam Faisal, (1998) dalam Sabian, (2007)


PENGANTAR PENULIS
Bismillaahirrahmaanirrahiim
SEJAK awal sebagai pembina mata kuliah sosiologi hukum pada Jurusan Syari’ah STAIN Palangka Raya, penulis berkeinginan menyusun buku Dasar-dasar Sosiologi Hukum sebagai pegangan mahasiswa. Alhamdulillah, atas dukungan berbagai pihak penulisan buku ini bisa dirampungkan, oleh karena itu secara khusus dan sangat mendalam saya ucapkan terima kasih terutama kepada sang begawan sosiologi hukum Prof. Dr. H. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA. Beliau, bukan hanya membimbing dalam mempelajari ilmu hukum diberbagai kesempatan, tetapi kearifan seorang guru sejati dan secara khusus pula memberikan catatan pemikiran berharga dalam penyelesaian buku ini melalui kecerdasan dan kebijakannya yang humanistik, dan Guru Besar Sosiologi Hukum FH. UNDIP Semarang Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H, M.S. deng-an kesejukan dan kesabarannya memberikan saran-saran sangat penting sehingga penulis bersemangat menyelesaikan tulisan ini, demikian juga Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD, S.H, S.U. sebagai muridnya, saya merasa mendapat pelajaran berarti dari sang fakar politik hukum tersebut, ter-utama tentang orisinalitas penulisan ilmiah serta kebijakan pembangunan hukum Indonesia yang menjadi perhatiannya, kepada Guru Besar Filsafat Hukum Prof. Dr. H. Koento Wibisono, S.H. yang telah banyak berdisku-si terutama ketika masih duduk di kelas, beliau memancarkan ketulus-annya mengajarkan filsafat ilmu, Secara khusus penulis ucapkan terima-kasih kepada; Ayahnda (Abah) Prof. Dr. H. Abdurrahman, S.H., M.H. di sela-sela kesibukan beliau sebagai Hakim Agung RI dan mengajar di berbagai perguruan tinggi di tanah air, masih sempat menyisihkan waktu memberikan saran-saran dalam penyelesaian buku ini, Ketua Prog. Doktor Ilmu Hukum FH.UII Bapak Dr. H. Ridwan Khairandy, S.H, M.H. yang tidak bosan-bosannya memberikan dukungan moril agar selalu memperkaya tulisan-tulisan ilmiah, pemerhati budaya dan kearifan lokal di tengah-tengah berbagai kesibukan kegiatan ilmiahnya di tanah air Bapak Dr. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D selalu mendorong penulis agar selalu tidak berhenti menempa diri dan menggumuli ilmu hukum bahkan beliu sempat mengguratkan komentar dengan kata-kata bijaknya.
Walaupun kemampuan penulis sangat terbatas untuk mengikuti pemikiran-pemikiran dan perkulihan-perkuliahan yang diberikan bebera-pa fakar ilmu hukum tersebut, namun setidaknya berangkat dari kekurangan yang penulis sajikan ini sebagai penulis pemula, berfungsi untuk kesempurnaan pada edisi penulisan berikutnya.
Selesainya tulisan ini tidak terlepas dari dukungan yang tulus Bapak A. Teras Narang, S.H., di tengah kesibukannya sebagai Gubernur Kal-teng, di setiap kesempatan selalu memberikan dorongan untuk berkarya, Ketua STAIN Palangka Raya Bapak Dr. H. Khairil Anwar, M.A. dan mantan Ketua Drs. H. Ahmad Syar’i, M.Pd. yang telah memberikan penghargaan sangat berarti, serta teristimewa kepada Bapak Mas’ud Chasan sebagai direktur Pustaka Pelajar beserta staffnya atas kerjasama yang baik dan profesional, sehingga penerbitan buku ini sampai ketangan pembaca yang budiman.
Secara khusus kudedikasikan untuk karibku yang selalu kukenang almarhum Gusdan Hanung Prabowo, S.E., S.H., M.Hum (dosen UNS & Mhs. S3 UII). Selasa pukul 01.44 tanggal 23 Des. 2008, pemuda yang cerdas, teguh pendirian, bersehaja, dan selalu setia kebenaran ini meng-hembuskan nafas terakhir dalam peristiwa kecalakaan lalu lintas sepulangnya kami dari Seminar Nasional di UNDIP Semarang, semoga almarhum mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah SWT., seniorku Dr. Achmad Hidir yang tulus memberikan beberapa kumpulan materi (diktat) perkuliahan Sosiologi sebagai bahan tak ternilai harganya, sehabat sekaligus guruku yang sangat arif dan enak kalau berdiskusi serta selalu mendorong agar teruslah menulis, yaitu: Prof. Dr. H. S. Mundzir, Dr. H.M. Arifin, Dr. Zulkipli., Dr. Eny Lestari., Dr.Endang Sri Rezeki., Dr.Toen Leo, Abangku Dr. Devprayno, SH, MH, Dr. Dyah S, SH., MH., Firdaus, S.H., M.H., Marjuki, S.H.,M.H., Drs. Markhrus, M.Hum., Azis Hakim, S.H.,M.H., Drs. Abd.Halim, S.H.,M.H., Dr.Irsyal R.,S.H,M.H., Khairuddin, S.H.,M.H., Drs. Nuryaqin, S.H, MCL, M.Si., Drs. Ramdan.
Demikian juga antara lain kepada National Library of Australia, Bapak Lukman Santoso Az (Pencinta Buku & Pemerhati Hukum pada LeSAN) dalam Koran Tempo (31/08/2008), Gerakan Pemuda Ansor (30/10/2008), Bapak Miftahul A’la Pustakawan dan Penggiat Indonesia Buku (1:Book) Jakarta dalam Jurnal-net.com (02/09/2008), dan Ketua Lembaga Kajian Peduli Publik (LK2P) Yogyakarta Bapak Ainur Rasyid (KPO/EDISI 160/16-30 Sept 2008), mereka memberikan apresiasi terha-dap buku penulis yang lain sebelum terbitnya buku ini, oleh karena itu izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, dan merupakan kebahagiaan tersendiri ketika pokok-pokok pikiran penulis mendapat perhatian, kritik, serta apresiasi dari pembaca yang budiman.
Kenyataan masih relatif langkanya buku-buku perkuliahan sosiologi hukum, di sisi lain sosiologi hukum baik dalam tataran ilmu pengetahuan maupun sebagai mata kuliah yang diajarkan khususnya pada mahasiswa Fakultas Syari’ah maupun Fakultas Hukum di berbagai Perguruan Tinggi semakin dibutuhkan. Oleh karena itu, buku dasar-dasar sosiologi hukum ini di susun berdasarkan kebutuhan yang mendesak dirasakan mahasiswa hukum. Dan tulisan ini setidaknya bisa dipakai untuk entry point dalam mempelajarai konsep-konsep dasar sosiologi hukum.
Buku ini terdiri dari sebelas bagian, yaitu: pendahuluan, konsep dasar sosiologi hukum, kegunaan teori dan sosiologi hukum sebagai alat memahami perkembangan masyarakat, dasar-dasar sosiologi hukum, studi dan pemikiran hukum, anatomi sosial dan hukum, hukum dan perubahan social serta interaksi antara hukum negara, tinjauan sosiologis problematika penegakan hukum di Indonesia, dibahas tentang; manusia, kerja dan hukum, serta dibahas juga problematika berhukum di Indone-sia, dan kemudian dibahas secara garis besar tentang penelitian sosiologi hukum. Materi penelitian sosiologi hukum tersebut, sebenarnya hanyalah pembuka jalan dalam merumuskan secara sederhana masalah penelitian hukum (legal research) atau pelengkap dalam sajian mata kuliah sosiologi hukum, sebagai bahan pertimbangan mengawali penulisan proposal, pada bagian akhir buku ini dilengkapi penulisan proposal penelitian hukum (legal research).
Segala upaya telah penulis lakukan demi terwujudnya bahan acuan secara komprehensif, buku yang dapat mengisi kekosongan yang ada, namun tidak mustahil masih terdapat kekurangan atau kekeliruan, oleh karena itu sangat diharapkan kepada rekan-rekan yang berkecimpung baik di bidang hukum dan Ilmu Hukum maupun di bidang sosiologi agar senantiasa memberikan kritik dan saran demi perbaikan lebih lanjut.
Yogyakarta, Awal Januari 2009
Penulis,
(SU)
E-mail: sabian_usman@yahoo.co.id
Website: www.stain-palangkaraya.ac.id
PH: 081349197311,05363242641,02743031386



KATA PENGANTAR

Oleh: Prof. H. Soetandyo Wignjosoebroto, M.PA. (Guru Besar Emiretus pada Universitas Airlangga Surabaya)

BUKU yang diberi judul ”Dasar-dasar Sosiologi Hukum” ini di-maksudkan oleh penulisnya untuk memenuhi kebutuhan maha-siswa yang memprogramkan matakuliah Sosiologi Hukum. Penulis berhasil menjadikannya sebagai bahasan sebuah buku yang utuh diawali bahasan pengenalan sosiologi sebagai dasar pemahaman terhadap masyarakat sampai ke sosiologi hukum dengan segala perkembangannya, untuk menyemarakkan perdebatan dalam ber-hukum.
Bagaimanapun juga, hukum itu sesungguhnya berhakekat se-bagai organisme yang hidup; es ist und wird mit dem Volke seperti yang dikatakan von Savigny bahwa hukum akan tetap hidup dan berkembang berseiring dengan perkembangan ma-syarakatnya, atas dasar otoritasnya sendiri yang moral.
Sesungguhnya hukum itu tidak anti perubahan dan fungsional untuk melayani berbagai silang kepentingan, baik kepentingan individu maupun kepentingan kelompok dalam bermasyarakat. Kalau suatu hukum tidak bersejalan dengan masyarakatnya, maka diibaratkan laksana kerangka hewan purba yang di musiumkan untuk dikenang sejarahnya.
Perubahan konfigurasi sistem hukum modern berlangsung berseiring dengan pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa Barat, untuk kemudian, pada abad-abad berikutnya juga ber-langsung di berbagai negeri bekas jajahan yang telah mengalami transplantasi hukum modern sebagai akibat kebijakan eropeanisasi penguasa-penguasa kolonial.
Suka atau tidak suka, perubahan dan perkembangan ilmu hukum itu tidak mengenal kata henti berseiring dengan per-kembangan teknologi transportasi dan komunikasi telah mengun-dang datangnya era globalisasi dan glokalisasi, yang pada gilir-annya telah mengakhiri berbagai cita-cita unifikasi hukum, ialah tatkala banyak penguasa baru di negara-negara nasional yang baru dihadapkan pada realitas pluralisme di berbagai bidang kehidupan manusia di jagat raya ini.
Memahami kajian-kajian sosiologi hukum pada dasar-dasarnya, nampaknya penulis berusaha membahas apa yang dikatakan ahli hukum dan sosiologi besar Francis, (Maurice Hauriou) yang mengatakan ”sedikit sosiologi menjauh dari hukum, tetapi banyak sosiologi membawanya kembali kepada hukum“. Sejalan dengan itu ahli hakim O.W.Holmes mengatakan bahwa ”kehidupan hukum tidak hanya menuruti logika, melainkan juga menuruti pengalaman“. Dengan demikian perlunya para pengkaji hukum memperhatikan bukan saja law in society, tetapi juga law in a constantly changing society. Buku ini sudah mengena khususnya sebagai bahan bagi penstudi sosiologi hukum dan pemerhati hukum dan ilmu hukum. Penulis menambahkan sebagai pelengkap materi penelitian sosiologi hukum. Sebagai gambaran umum, pada bagian akhir, disajikan contoh usulan penelitian sosial hukum.
Sempurna atau tidak sempurna, dengan segala keterbatasan, dan upaya penyempurnaan lebih lanjut, buku teks yang saudara Sabian Utsman tulis ini telah menambah optik kajian hukum yang berdemensi social-legal. Dengan senang hati, saya menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada penulis atas ketekunan dan kerja kerasnya sehingga terbitnya buku ini, semoga bermanfaat bagi pembangunan hukum dan ilmu hukum di tanah air.

Surabaya, Pertengahan Desember 2008

Prof. H. Soetandyo Wignjosoebroto, M.PA.


DAFTAR ISI

Persembahan....................................................................... iv
Motto .................................................................................. v
Kata Pengantar Penulis ...................................................... vi
Pengantar Prof. Dr. H. Soetandyo Wignjosbroto, M.PA. .. x
Daftar Isi ............................................................................. xii

Bagian 1
PENDAHULUAN ............................................................. 1

Bagian 2
KONSEP DASAR SOSIOLOGI HUKUM ...................... 8
A. Sekilas Kelahiran Sosiologi ........................................ 9
B. Mengenal Para Perintis Sosiologi ............................... 35
C. Apakah sesungguhnya ilmu itu ................................... 63
D. Relevansi ilmu dengan kajian-kajian sosiologi hukum.. 74
1. Ontologi dalam sosiologi hukum…...................... 76
2. Epistemologi dalam sosiologi hukum ….............. 77
3. Aksiologi dalam sosiologi hukum ….................... 79

Bagian 3
KEGUNAAN TEORI DAN SOSIOLOGI HUKUM SEBAGAI ALAT MEMAHAMI PERKEMBANGAN MASYARAKAT..81
Apakah Teori ...................................................................... 82
Kegunaan Teori ................................................................... 86
Kegunaan sosiologi hukum sebagai alat memahami
Perkembangan masyarakat................................................... 88

Bagian 4
DASAR-DASAR SOSIOLOGI HUKUM ........................... 90
Pengertian, Perkembangan, dan Ruang Lingkup Sosiologi
Hukum................................................................................... 91
Bagian 5
STUDI DAN PEMIKIRAN HUKUM ............................... 112
A. Karakteristik Studi Hukum Secara Sosiologis.............. 113
B. Pemikiran Sosiologi dan Hukum................................... 114
C. Pemikiran Ahli Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum........ 118
1. Mazhab Formalistis................................................. 119
2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan........................... 121
3. Aliran Utilitarianism............................................... 123
4. Aliran Sociological Jurisprudence.......................... 124
5. Aliran Realisme Hukum......................................... 127

Bagian 6
ANATOMI SOSIAL DAN HUKUM ................................ 129
A. Stratifikasi Dalam Masyarakat dan Hukum.................. 130
B. Struktur Sosial dan Hukum........................................... 133
C. Hubungan Lembaga-lembaga Sosial dengan hukum.... 147

Bagian 7
HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL SERTA INTERAKSI ANTARA HUKUM NEGARA............................................ 150
A. Penerapan Hukum dan Perubahan Masyarakat............... 151
B. Konflik dan Perubahan Hukum....................................... 152
C. Penerapan Hukum sebagai Alat untuk Merubah Masyarakat153
D. Interaksi dan Arti Hukum Negara dalam Sosiologi......... 157

Bagian 8
MANUSIA, KERJA, DAN HUKUM ................................... 160
A. Pendahuluan..................................................................... 161
B. Manusia dan Kerja........................................................... 163
C. Kiat Mengakomodasi Kontrol Melalui Hukum Perburuhan....................................................................... 170
D. Penutup............................................................................ 173

Bagian 9
PROBLEMATIKA BERHUKUM DI INDONESIA........... 179
A. Menuju Penegakkan Hukum Responsif.......................... 180
1. Pendahuluan............................................................. 180
2. Problematika Penegakkan Hukum di Indonesia....... 186
3. Kritikan Penegakkan Hukum Menurut Optik Philippe Nonet dan Philip Selznick......................................... 199
4. Simpulan.................................................................... 213
B. Perbandingan Sistem Hukum Indonesia dan Common Law System…………………………………………………. 216
1. Pendahuluan……………………………………….. 216
2. System Hukum Indonesia dan Common Law System..217
3. Perbandingan System Hukum Indonesia (Civil Law System) dan Common Law System………………... 227
4. Posisi Sistem Hukum Indonesia …………………... 229
5. Kesimpulan………………………………………… 231
C. Spiral Kekerasan dan Penegakkan Hukum……………. 233
1. Sekilas Kekerasan dan Penegakkan Hukum….......... 233
2. Pendahuluan………………………………………... 234
3. Kekerasan dan Penegakkan Hukum……………….. 238
4. Kesimpulan………………………………………… 250

Bagian 10
PENELITIAN SOSIOLOGI HUKUM……………………. 253

Bagian 11
PROPOSAL PENELITIAN HUKUM (LEGAL RESEARCH).273
A. Latar Belakang Masalah………………….................... 274
B. Rumusan Masalah Penelitian …………........................ 283
C. Maksud dan Tujuan Penelitian ………......................... 284
D. Kegunaan Penelitian ………..…………....................... 285
E. Kajian Pustaka dan Kerangka Teori ............................. 285
1. Kajian Pustaka .......................................................... 285 2. Kerangka Teori ........................................................... 291
a. Hukum, Penguasaan dan Pemilikan, Pembentukan
Perundang-Undangan, dan Penegakkan Hukum ..... 294
1). Teori Hukum ................................................. 294
2). Teori Penguasaan dan Pemilikan ............ ..... 304
3). Teori Pembentukan Perundang-Undangan..... 307
4). Teori Penegakkan Hukum ............................. 312
b. Teori Interaksionisme Simbolik .......................... 314
c. Teori Konflik ...................................................... 317
F. Metode Penelitian ....................................................... 321
1. Tipe atau Jenis Kajian Penelitian Hukum................. 321
2. Penggalian Bahan dan Data-data Hukum ................. 321
3. Triangulasi …………………………....................... 324
4. Analisa Data ……………………………................ 326
5. Sistematika Penulisan Laporan ................................. 326
DAFTAR RUJUKAN ....................................................... 328

MEMILIH PARTAI MENDAMBAKAN PEMIMPIN

MEMILIH PARTAI MENDAMBAKAN PEMIMPIN
Oleh: Sabian Utsman
Jamur Partai di Milenium Mutakhir 
Bagaikan jamur di musim hujan, begitulah partai-partai bermunculan, telah merubah drastis wajah politik Indonesia di milenium mutakhir ini. 
  Kini, mereka, kita, bibi-bibi tukang sayur, para abang ojek, dan para penambang, sampai para insan-insan hutani (masyarakat yang tinggal dipinggiran hutan) tetap jelata, sementara para penentu kebijakan bermandikan harta, apa lagi sebagian besar masyarakat nelayan pesisir dan darat sudah lama sebagai kantong kemiskinan fungsional (law income earners), serta saudara-saudara kita para GEPENG (gelandangan & pengemis yang entah sampai kapan bisa mencicipi arti kemerdekaan), stratifikasi tersebut selalu setia melongo mengamati dari pinggiran yang terpinggirkan (teralieanasi, kaum mayoritas negeri ini) menyaksikan politisi dengan sepak-terjang, berkumpul, memuntahkan uneg-uneg
aspirasi, alih-alih mereka katakan sanggup melaksanakan visi-misi yang terdapat dalam platform cetak birunya ”mensejahterakan masyarakat”, tak pernah lelah bersama partainya sepanjang waktu berkampanye, walau rakyat lebih tahu arah propagandanya (semakin dekat pemilu, semakin marak beradu kekuasaan, ketimbang kebersamaan untuk memperbaiki rusaknya alam yang semakin gundul, serta semakin melebarnya ketidakmerataan pembangunan berbagai stratifikasi).
  Mereka, kami, dan termasuk kita, kadang berfikir lain buat apa partai, ”kadang hanya menambah kesengsaraan rakyat”? (lihat konflik pilkada berdarah-darah, di Ternate), tetapi yang substansi ”kebutuhan hidup harus terpenuhi secara adil”, sehingga siapapun menjadi pemimpin hasil dari perjuangan hiruk-pikuk kadang konyol dan konflik, hal ini, jelas tidak ada korelasi signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Boleh-boleh saja berpendapat demikian, namun tidak disangkal masih ada partai (berakhlak mulia), memiliki platform, visi-misi yang relevan untuk membangun bangsa yang perlu perhatian serius (pemerintahan bisa hidup meskipun tanpa iman, tetapi tunggu keahncurannya bila tanpa keadilan), demensi waktu dan sejarahlah membuktikannya serta akan di uji, berhadapan dengan kekuatan rakyat. Hobbes mengatakan: Fox populi fox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), Homo Homini Lupus (manusia yang satu adalah serigala bagi yang lain), kewaspadaan dan semakin pintarnya rakyat menentukan pilihannya sangatlah beralasan, untuk menghindari terulangnya penghianatan suara-suara tulusnya, oleh srigala berbulu domba sehinga melenceng dari social contract disepakati ketika kampanye (kadang kebablasan dan pamer kekayaan).
Akhlak dan Politik
Kalau ada pertanyaan, masuk partai, menjadi anggota parlemen atau menduduki jabatan perjuangan partai, tidak lebih sebagai tempat mata pencaharian?, belum tentu! (hati-nuranilah menjawabnya). Bagi yang kritis, ada yang tidak lagi percaya partai bahkan secara yuridis formal dilindungi negara dengan dibolehkannya adanya calon independen dalam pilpres maupun pilkada. Dinamisasi berdemokrasi seperti itu tidaklah diharamkan karena ujung-ujungnya, kepemimpinan hasil pemilu itu adalah milik rakyat, partai dekat masyarakat akar-rumputlah (grass roots) memenangkan persaingan globalisasi maupun glokalisasi yang bisa membawa kejayaan suatu daerah.
  Hemat saya, tujuan berpolitik bukan sekadar meraih kursi parlemen, lebih jauh dan sangat substansi adalah pada saat-saat yang diperlukan hajat hidup orang banyak, maka diperlukanlah kearifan intelektual yang mulia di sisi-Nya, sehingga dengan berpolitik harus kerja keras sebagai inspirator dan reformator untuk menyusun program kebijakan publik (aspiratif: agamais, majemuk, kultur, dan pluralism, serta harus ”inklusivisme”, yaitu menolak pengkotak-kotakan baik antara desa-kota, antara agama, mayoritas-minoritas, kaya-miskin, maupun buruh-majikan. Berdemokrasi dengan akhlak mulia adalah ”sentuhan Illahi (makna hakiki keadilan)” yang maha dahsyat mensejahterakan rakyat, yaitu adanya persamaan persepsi dan cita-cita mengantarkan rakyat pada kehidupan yang demokratis, tidak saling mengecam hanya perbedaan pendapat. Padahal perbedaan adalah menjadikan kekuatan pembangunan luar biasa, sepanjang menjunjung tinggi; sportipitas, kometmen, moralitas (mental negara kesejahteraan atas ridho-Nya).
Rekonfigurasi Kepemimpinan 
Tidak berlebihan, kalau dikatakan presiden adalah jabatan biasa-biasa saja, hal itu boleh-boleh saja. Apa lagi dikaitkan dengan peristiwa rakyat menghakimi presidennya th 1998 kemudian menyusul beberapa Bupati dihakimi warganya, disuruh meletakkan jabatannya (termasuk Bupati Kab. Ktw. Barat). Hal itu terjadi karena terakumulasinya persoalan yang akan menjadi presiden (1998-2003), walau banyak memeras otak dengan rumusan bermacam kriteria, tetapi selalu bermuara kepada sosok ”Soeharto”.
  Pemahaman dangkal seperti itu, hendaklah kita buang jauh-jauh. Marilah berfikir merdeka dan terbuka, rasional, serta objektif. Saya fikir siapapun boleh menjadi presiden, yang penting mempunyai; kejujuran, demokratis, bersehaja, teguh imannya, berakhlak mulia, didukung dan dekat dengan hati rakyat, terutama masyarakat kecil (yang terkebelakang, tertindas, miskin, bodoh dan tak berdaya), piawai berorganisasi, reformis tulen, tegas dan berani memerangi KKN yang mewabah di negeri ini dengan segala mafia dan kelicikannya, serta jangan pula terkena atau sedang bermasalah dengan kasus hukum.
  Pimpinan tidak harus seoarng magister, doktor, Profissor, atau milioner yang mampu membeli beberapa pulau dan penentu kebijakan manusia di atasnya, sehingga menjadikan sub-human (budak belian alih-alih manusia kerbau yang dicocok hidungnya). Seorang presiden bisa saja sorang guru SD yang sudah terlatih mendidik anak bangsa tanpa pamrih, petani sayur, dan nelayan sudah teruji lebih 63 th dengan kemiskinan, atau seorang pemain sepak bola karena ketangkasannya dalam kerja tim yang solid, sepanjang ia mampu dan mempunyai talenta dengan berbekal ilmu pengetahuan yang cukup. Lihat tokoh-tokoh orang biasa, menjadi presiden; Cory Aquino (berasal dari Nyonya Rumah Tangga), Voclav Havel (Penyair), Lech Walesa (Buruh Galangan Kapal Polandia), Nelson Mandela (pejuang masyarakat kecil), kenapa mereka bisa?, karena pemimpin itu bukanlah mutlak dari para dewa dan penyembah harta, tetapi rakyatlah yang berdaulat menentukannya.  

REFORMA FUNGSIONAL KEMISKINAN

REFORMA FUNGSIONAL KEMISKINAN
oleh: Sabian Utsman
Tak terbantahkan betapa santernya kasak-kusuk geliat Pemilu baik untuk legeslatif maupun Pilkada di beberapa daerah penjuru tanah air, tetapi jangan lupa kita telah sepakat bahwa pembangunan nasional adalah melaksanakan amanah Proklamasi Kemerdekaan RI, UUD 1945 dan Propenas, dan berorientasi pembanguan manuisa seutuhnya. 
  Dengan mengatasnamakan tema besar tersebutlah siapapun boleh bersuara terlebih memang mempunyai kompentensi untuk itu. Baik Caleg atau calon anggota DPD maupun kawan-kawan calon gubernur dan bupati atau walikota yang sebagian kita saksikan mulai tebar pesona, tebar uang ala sedekah untuk si miskin, tebar photo dan kometmen ala reformis sejati, walau
  kadang kebablasan. Namun nalar kita yang pas-pasan sebagai masyarakat biasa, entah karena belum pernah menerima mata pelajaran ”Ekonomi Pemilu” sangatlah tidak masuk akal dengan kometmen memberantas kemiskinan dan kebodohan sementara untuk pengembalian harga jabatan saja tidak cukup dengan gaji selama 5 tahun menjabat. Contoh, kalau saja gaji dan tunjangan gubernur hanya sekitar Rp.60 juta perbulan, berarti dalam lima tahun hanya Rp.3,5 miliaran sementara biaya dikeluarkan untuk sampai menduduki jabatan sangat besar (bahkan ada bukan hanya miliaran, tetapi menembus angka triliunan) belum lagi kalau Pilkadanya bersengketa.
  Persoalan bangsa ini sejak dulu para kandidat berlomba-lomba merebut hati si miskin penghuni terbesar di planet bumi Indonesia ini, dari pemilu kepemilu memfungsikan serta menjual ”kemiskinan dan kebodohan” untuk meraih jabatan politik, masih adakah pahlawan yang mengikhlaskan jabatan dan harta bendanya untuk rakyatnya? seberapa besar ketidaksimetrikan antara kekayaan sebelum dan setelah ia menjabat? (lihat tulisan pejabat-pejabat terkaya di Indonesia) betapa tidak, sangat mencengangkan. Pertanyaannya, kenapa rakyat dengan bangganya menyaksikan dan mengelukan kekayaan pemimpinnya, padahal mereka sendiri low income earners (serba kekurangan) karena minimnya lapangan pekerjaan atas hasil kebijakan yang kurang mengena (masyarakat satelit misalkan, mereka semakin kehilangan masa depan, karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, bahkan ada yang menjual tanah-tanah yang justru sebagai food security (cadangan masa depannya, kalau diberdayakan bisa jadi raksasa perekonomian dan icon daerah). 
  Presiden SBY dalam sidang paripurna DPD. 22/08/2008 menjelaskan bahwa APBN untuk daerah semakin meningkat, pada: 2004 Rp.129,7 triliun, pada APBN Perubahan 2008, dana transfer APBN ke daerah menjadi Rp.292,4 triliun, pada RAPBN 2009, pemerintah mengalokasikan dana transfer ke daerah Rp.303,9 triliun dalam bentuk DAU, DAK, atau bentuk lain. (Kalteng Pos 23/8). Lain lagi pendapatan asli dari daerah masing-masing, misalkan untuk APBD Kobar 2009 diperkirakan Rp.550 miliar (lihat APBD, BorneoNews,9/10/08,hlm.9). Sebagian besar dana-dana itu serius dikumandangkan untuk pengentasan kemiskinan dan kebodohan, namun sampaikah paket itu kepada penerimanya? dan kalau sampai, masih adakah pejabat negeri ini menjamin keutuhannya? (mungkin saja ada, namun normatifnya) secara empirik bukan saja masih dilanda kemiskinan, justru kehilangan persfektif dan tidak arif juga kalau mengkambinghitamkan kemiskinan global melanda dunia internasional sementara kita punya kekayaan alam berlimpah.
  Alhamdulillah pada15/10/2008 saya sempat menghadiri pertemuan masyarakat akar-rumput diadakan DPK Kobar tentang ”Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir” di masyarakat miskin suatu desa di Kobar. Dari pertemuan itu, diketahui sejumlah proyek antara lain: ada penanaman pohon di bibir pantai, pemecah ombak, pembuatan irigasi, dan pembersihan pantai. Dengan subyektifitas pemikiran anak desa, bahwa seberapa besar dana bukan hanya mumbazir, tetapi pemiskinan sestemik terhadap rakyat dan yang jadi masalah besar ”bagaimana kualitas perencanaan, proses, pengawasan, dan evaluasi pembangunannya”?, serta seberapa rumitkah lingkaran setan (berbentuk MAFIA) sehingga ratapan anak tiri bangsa tak mampu lagi menembus tembok eksekutif, legislatif, terlebih yudikatif?, mau dikemanakan negeri kita? (tidak mudah untuk meruntut jawabannya).
  Proyek pembersihan pantai misalkan, warga bergotong royong diberi jajan Rp.25000,-(dua puluh lima ribu rupiah) perorang perhari, sebanyak 50 org selama 2 hari setiap desanya, jauh dari manfaat. Lain lagi proyek pemecah ombak (hanya perusak pantai) dibangun kokoh di pesisir kec. Kumai, pembangunan irigasi hasilnya membuat daun kelapa jadi kuning dan sudah bertahun-tahun penghasilan kebun kelapa menjadi andalan mereka, merosot sampai 50% an karena sistem pengairan belum tepat, sementara proyek-proyek tersebut biayanya bukanlah sedikit, walau hanya memenuhi dasar-dasar normatif belaka.
  Kaum teraleanasi negeri ini sudah pasrah, untuk menyuarakan agar membangun sesuai kebutuhan riil masyarakat dan tidak sebagai alat (berfungsi laksana sapi perah) dengan alasan mengentas kemiskinan dan kebodohan, hanyalah otopis (conplicated). Hal itu sangat beralasan, symbol protes atas mandulnya pembangunan dan figitnya aparat tidak lagi didengar (kecuali mendekati PEMILU biasanya beribu janji dan harapan kembali dicekoki dan dibiuskan), namun kesemarautan berketerusan (ibarat nyanyian rakyat ”aku masih seperti yang dulu” tetap senang terjerumus pada lobang yang sama), lebih celaka lagi dirancang konsultan pembangunan bukan ahlinya dan dibayar mahal dengan uang rakyat. 
  Kaiatan pengentasan kebodohan, sebaiknya setiap Kabupaten terpencil mengutamakan studi lanjut jenjang Pascasarjana tenaga pendidik usia produktif, karena insan akademisilah sebagai agen perubahan yang dahsyat menelurkan cerdik-pandai membangun masyarakat yang cerdas, profesional dan proporsional, serta bermartabat pada gilirannya terciptalah pemerintahan ideal konsisten melayani, mengembangkan, serta mensejahterakan rakyat. Kemakmuran jangan hanya segelintir pemimpin, penyelenggara negara, dan pengusaha saja, tetapi masyarakatlah paling berhak atas paket-paket pembangunan. Pastikan, saatnya kita tidak bermain-main dalam pembangunan, karena kita begitu lamanya merintih merindukan pemerintahan ideal dengan segala konsekwensinya dan rakyat tidak mengemis kekantong pejabat, tetapi meminta pertanggungjawaban keuangan negara yang dititipkan.
  Salah satu resolusi dari problematika carut-marutnya struktur pembangunan antara lain ”mengarusutamakan kualitas proses (ketimbang hasil), perencanaan yang baik, menempatkan pejabat sesuai keahliannya, memutus mata rantai berbagai mafia (menempatkan pengawas yang amanah dan punya akses langsung kepada masyarakat), dan membudayakan transparansi”. Insya’allah mendapat ridho-Nya.