Minggu, 08 Februari 2009

MEMILIH PARTAI MENDAMBAKAN PEMIMPIN

MEMILIH PARTAI MENDAMBAKAN PEMIMPIN
Oleh: Sabian Utsman
Jamur Partai di Milenium Mutakhir 
Bagaikan jamur di musim hujan, begitulah partai-partai bermunculan, telah merubah drastis wajah politik Indonesia di milenium mutakhir ini. 
  Kini, mereka, kita, bibi-bibi tukang sayur, para abang ojek, dan para penambang, sampai para insan-insan hutani (masyarakat yang tinggal dipinggiran hutan) tetap jelata, sementara para penentu kebijakan bermandikan harta, apa lagi sebagian besar masyarakat nelayan pesisir dan darat sudah lama sebagai kantong kemiskinan fungsional (law income earners), serta saudara-saudara kita para GEPENG (gelandangan & pengemis yang entah sampai kapan bisa mencicipi arti kemerdekaan), stratifikasi tersebut selalu setia melongo mengamati dari pinggiran yang terpinggirkan (teralieanasi, kaum mayoritas negeri ini) menyaksikan politisi dengan sepak-terjang, berkumpul, memuntahkan uneg-uneg
aspirasi, alih-alih mereka katakan sanggup melaksanakan visi-misi yang terdapat dalam platform cetak birunya ”mensejahterakan masyarakat”, tak pernah lelah bersama partainya sepanjang waktu berkampanye, walau rakyat lebih tahu arah propagandanya (semakin dekat pemilu, semakin marak beradu kekuasaan, ketimbang kebersamaan untuk memperbaiki rusaknya alam yang semakin gundul, serta semakin melebarnya ketidakmerataan pembangunan berbagai stratifikasi).
  Mereka, kami, dan termasuk kita, kadang berfikir lain buat apa partai, ”kadang hanya menambah kesengsaraan rakyat”? (lihat konflik pilkada berdarah-darah, di Ternate), tetapi yang substansi ”kebutuhan hidup harus terpenuhi secara adil”, sehingga siapapun menjadi pemimpin hasil dari perjuangan hiruk-pikuk kadang konyol dan konflik, hal ini, jelas tidak ada korelasi signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Boleh-boleh saja berpendapat demikian, namun tidak disangkal masih ada partai (berakhlak mulia), memiliki platform, visi-misi yang relevan untuk membangun bangsa yang perlu perhatian serius (pemerintahan bisa hidup meskipun tanpa iman, tetapi tunggu keahncurannya bila tanpa keadilan), demensi waktu dan sejarahlah membuktikannya serta akan di uji, berhadapan dengan kekuatan rakyat. Hobbes mengatakan: Fox populi fox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), Homo Homini Lupus (manusia yang satu adalah serigala bagi yang lain), kewaspadaan dan semakin pintarnya rakyat menentukan pilihannya sangatlah beralasan, untuk menghindari terulangnya penghianatan suara-suara tulusnya, oleh srigala berbulu domba sehinga melenceng dari social contract disepakati ketika kampanye (kadang kebablasan dan pamer kekayaan).
Akhlak dan Politik
Kalau ada pertanyaan, masuk partai, menjadi anggota parlemen atau menduduki jabatan perjuangan partai, tidak lebih sebagai tempat mata pencaharian?, belum tentu! (hati-nuranilah menjawabnya). Bagi yang kritis, ada yang tidak lagi percaya partai bahkan secara yuridis formal dilindungi negara dengan dibolehkannya adanya calon independen dalam pilpres maupun pilkada. Dinamisasi berdemokrasi seperti itu tidaklah diharamkan karena ujung-ujungnya, kepemimpinan hasil pemilu itu adalah milik rakyat, partai dekat masyarakat akar-rumputlah (grass roots) memenangkan persaingan globalisasi maupun glokalisasi yang bisa membawa kejayaan suatu daerah.
  Hemat saya, tujuan berpolitik bukan sekadar meraih kursi parlemen, lebih jauh dan sangat substansi adalah pada saat-saat yang diperlukan hajat hidup orang banyak, maka diperlukanlah kearifan intelektual yang mulia di sisi-Nya, sehingga dengan berpolitik harus kerja keras sebagai inspirator dan reformator untuk menyusun program kebijakan publik (aspiratif: agamais, majemuk, kultur, dan pluralism, serta harus ”inklusivisme”, yaitu menolak pengkotak-kotakan baik antara desa-kota, antara agama, mayoritas-minoritas, kaya-miskin, maupun buruh-majikan. Berdemokrasi dengan akhlak mulia adalah ”sentuhan Illahi (makna hakiki keadilan)” yang maha dahsyat mensejahterakan rakyat, yaitu adanya persamaan persepsi dan cita-cita mengantarkan rakyat pada kehidupan yang demokratis, tidak saling mengecam hanya perbedaan pendapat. Padahal perbedaan adalah menjadikan kekuatan pembangunan luar biasa, sepanjang menjunjung tinggi; sportipitas, kometmen, moralitas (mental negara kesejahteraan atas ridho-Nya).
Rekonfigurasi Kepemimpinan 
Tidak berlebihan, kalau dikatakan presiden adalah jabatan biasa-biasa saja, hal itu boleh-boleh saja. Apa lagi dikaitkan dengan peristiwa rakyat menghakimi presidennya th 1998 kemudian menyusul beberapa Bupati dihakimi warganya, disuruh meletakkan jabatannya (termasuk Bupati Kab. Ktw. Barat). Hal itu terjadi karena terakumulasinya persoalan yang akan menjadi presiden (1998-2003), walau banyak memeras otak dengan rumusan bermacam kriteria, tetapi selalu bermuara kepada sosok ”Soeharto”.
  Pemahaman dangkal seperti itu, hendaklah kita buang jauh-jauh. Marilah berfikir merdeka dan terbuka, rasional, serta objektif. Saya fikir siapapun boleh menjadi presiden, yang penting mempunyai; kejujuran, demokratis, bersehaja, teguh imannya, berakhlak mulia, didukung dan dekat dengan hati rakyat, terutama masyarakat kecil (yang terkebelakang, tertindas, miskin, bodoh dan tak berdaya), piawai berorganisasi, reformis tulen, tegas dan berani memerangi KKN yang mewabah di negeri ini dengan segala mafia dan kelicikannya, serta jangan pula terkena atau sedang bermasalah dengan kasus hukum.
  Pimpinan tidak harus seoarng magister, doktor, Profissor, atau milioner yang mampu membeli beberapa pulau dan penentu kebijakan manusia di atasnya, sehingga menjadikan sub-human (budak belian alih-alih manusia kerbau yang dicocok hidungnya). Seorang presiden bisa saja sorang guru SD yang sudah terlatih mendidik anak bangsa tanpa pamrih, petani sayur, dan nelayan sudah teruji lebih 63 th dengan kemiskinan, atau seorang pemain sepak bola karena ketangkasannya dalam kerja tim yang solid, sepanjang ia mampu dan mempunyai talenta dengan berbekal ilmu pengetahuan yang cukup. Lihat tokoh-tokoh orang biasa, menjadi presiden; Cory Aquino (berasal dari Nyonya Rumah Tangga), Voclav Havel (Penyair), Lech Walesa (Buruh Galangan Kapal Polandia), Nelson Mandela (pejuang masyarakat kecil), kenapa mereka bisa?, karena pemimpin itu bukanlah mutlak dari para dewa dan penyembah harta, tetapi rakyatlah yang berdaulat menentukannya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar