Minggu, 08 Februari 2009

REFORMA FUNGSIONAL KEMISKINAN

REFORMA FUNGSIONAL KEMISKINAN
oleh: Sabian Utsman
Tak terbantahkan betapa santernya kasak-kusuk geliat Pemilu baik untuk legeslatif maupun Pilkada di beberapa daerah penjuru tanah air, tetapi jangan lupa kita telah sepakat bahwa pembangunan nasional adalah melaksanakan amanah Proklamasi Kemerdekaan RI, UUD 1945 dan Propenas, dan berorientasi pembanguan manuisa seutuhnya. 
  Dengan mengatasnamakan tema besar tersebutlah siapapun boleh bersuara terlebih memang mempunyai kompentensi untuk itu. Baik Caleg atau calon anggota DPD maupun kawan-kawan calon gubernur dan bupati atau walikota yang sebagian kita saksikan mulai tebar pesona, tebar uang ala sedekah untuk si miskin, tebar photo dan kometmen ala reformis sejati, walau
  kadang kebablasan. Namun nalar kita yang pas-pasan sebagai masyarakat biasa, entah karena belum pernah menerima mata pelajaran ”Ekonomi Pemilu” sangatlah tidak masuk akal dengan kometmen memberantas kemiskinan dan kebodohan sementara untuk pengembalian harga jabatan saja tidak cukup dengan gaji selama 5 tahun menjabat. Contoh, kalau saja gaji dan tunjangan gubernur hanya sekitar Rp.60 juta perbulan, berarti dalam lima tahun hanya Rp.3,5 miliaran sementara biaya dikeluarkan untuk sampai menduduki jabatan sangat besar (bahkan ada bukan hanya miliaran, tetapi menembus angka triliunan) belum lagi kalau Pilkadanya bersengketa.
  Persoalan bangsa ini sejak dulu para kandidat berlomba-lomba merebut hati si miskin penghuni terbesar di planet bumi Indonesia ini, dari pemilu kepemilu memfungsikan serta menjual ”kemiskinan dan kebodohan” untuk meraih jabatan politik, masih adakah pahlawan yang mengikhlaskan jabatan dan harta bendanya untuk rakyatnya? seberapa besar ketidaksimetrikan antara kekayaan sebelum dan setelah ia menjabat? (lihat tulisan pejabat-pejabat terkaya di Indonesia) betapa tidak, sangat mencengangkan. Pertanyaannya, kenapa rakyat dengan bangganya menyaksikan dan mengelukan kekayaan pemimpinnya, padahal mereka sendiri low income earners (serba kekurangan) karena minimnya lapangan pekerjaan atas hasil kebijakan yang kurang mengena (masyarakat satelit misalkan, mereka semakin kehilangan masa depan, karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, bahkan ada yang menjual tanah-tanah yang justru sebagai food security (cadangan masa depannya, kalau diberdayakan bisa jadi raksasa perekonomian dan icon daerah). 
  Presiden SBY dalam sidang paripurna DPD. 22/08/2008 menjelaskan bahwa APBN untuk daerah semakin meningkat, pada: 2004 Rp.129,7 triliun, pada APBN Perubahan 2008, dana transfer APBN ke daerah menjadi Rp.292,4 triliun, pada RAPBN 2009, pemerintah mengalokasikan dana transfer ke daerah Rp.303,9 triliun dalam bentuk DAU, DAK, atau bentuk lain. (Kalteng Pos 23/8). Lain lagi pendapatan asli dari daerah masing-masing, misalkan untuk APBD Kobar 2009 diperkirakan Rp.550 miliar (lihat APBD, BorneoNews,9/10/08,hlm.9). Sebagian besar dana-dana itu serius dikumandangkan untuk pengentasan kemiskinan dan kebodohan, namun sampaikah paket itu kepada penerimanya? dan kalau sampai, masih adakah pejabat negeri ini menjamin keutuhannya? (mungkin saja ada, namun normatifnya) secara empirik bukan saja masih dilanda kemiskinan, justru kehilangan persfektif dan tidak arif juga kalau mengkambinghitamkan kemiskinan global melanda dunia internasional sementara kita punya kekayaan alam berlimpah.
  Alhamdulillah pada15/10/2008 saya sempat menghadiri pertemuan masyarakat akar-rumput diadakan DPK Kobar tentang ”Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir” di masyarakat miskin suatu desa di Kobar. Dari pertemuan itu, diketahui sejumlah proyek antara lain: ada penanaman pohon di bibir pantai, pemecah ombak, pembuatan irigasi, dan pembersihan pantai. Dengan subyektifitas pemikiran anak desa, bahwa seberapa besar dana bukan hanya mumbazir, tetapi pemiskinan sestemik terhadap rakyat dan yang jadi masalah besar ”bagaimana kualitas perencanaan, proses, pengawasan, dan evaluasi pembangunannya”?, serta seberapa rumitkah lingkaran setan (berbentuk MAFIA) sehingga ratapan anak tiri bangsa tak mampu lagi menembus tembok eksekutif, legislatif, terlebih yudikatif?, mau dikemanakan negeri kita? (tidak mudah untuk meruntut jawabannya).
  Proyek pembersihan pantai misalkan, warga bergotong royong diberi jajan Rp.25000,-(dua puluh lima ribu rupiah) perorang perhari, sebanyak 50 org selama 2 hari setiap desanya, jauh dari manfaat. Lain lagi proyek pemecah ombak (hanya perusak pantai) dibangun kokoh di pesisir kec. Kumai, pembangunan irigasi hasilnya membuat daun kelapa jadi kuning dan sudah bertahun-tahun penghasilan kebun kelapa menjadi andalan mereka, merosot sampai 50% an karena sistem pengairan belum tepat, sementara proyek-proyek tersebut biayanya bukanlah sedikit, walau hanya memenuhi dasar-dasar normatif belaka.
  Kaum teraleanasi negeri ini sudah pasrah, untuk menyuarakan agar membangun sesuai kebutuhan riil masyarakat dan tidak sebagai alat (berfungsi laksana sapi perah) dengan alasan mengentas kemiskinan dan kebodohan, hanyalah otopis (conplicated). Hal itu sangat beralasan, symbol protes atas mandulnya pembangunan dan figitnya aparat tidak lagi didengar (kecuali mendekati PEMILU biasanya beribu janji dan harapan kembali dicekoki dan dibiuskan), namun kesemarautan berketerusan (ibarat nyanyian rakyat ”aku masih seperti yang dulu” tetap senang terjerumus pada lobang yang sama), lebih celaka lagi dirancang konsultan pembangunan bukan ahlinya dan dibayar mahal dengan uang rakyat. 
  Kaiatan pengentasan kebodohan, sebaiknya setiap Kabupaten terpencil mengutamakan studi lanjut jenjang Pascasarjana tenaga pendidik usia produktif, karena insan akademisilah sebagai agen perubahan yang dahsyat menelurkan cerdik-pandai membangun masyarakat yang cerdas, profesional dan proporsional, serta bermartabat pada gilirannya terciptalah pemerintahan ideal konsisten melayani, mengembangkan, serta mensejahterakan rakyat. Kemakmuran jangan hanya segelintir pemimpin, penyelenggara negara, dan pengusaha saja, tetapi masyarakatlah paling berhak atas paket-paket pembangunan. Pastikan, saatnya kita tidak bermain-main dalam pembangunan, karena kita begitu lamanya merintih merindukan pemerintahan ideal dengan segala konsekwensinya dan rakyat tidak mengemis kekantong pejabat, tetapi meminta pertanggungjawaban keuangan negara yang dititipkan.
  Salah satu resolusi dari problematika carut-marutnya struktur pembangunan antara lain ”mengarusutamakan kualitas proses (ketimbang hasil), perencanaan yang baik, menempatkan pejabat sesuai keahliannya, memutus mata rantai berbagai mafia (menempatkan pengawas yang amanah dan punya akses langsung kepada masyarakat), dan membudayakan transparansi”. Insya’allah mendapat ridho-Nya. 

1 komentar:

  1. dari ALEX RIYANTI, SH, M.Kn, LLM:

    KALAU KITA JUJUR, SEBENARNYA MEMANG ADA SEBAGIAN KELOMPOK ATAU TOKOH POLITIK MENJADIKAN ORANG-ORANG MISKIN SEBAGAI ALAT PERJUANGAN YANG STRATEGIS, WALAUPUN SEBENARNYA TIDAKLAH TERLALU SALAH, TETAPI AKAN LEBIH BAIK PERJUANGAN SEPANJANG MASA (BUKAN HANYA SAAT PEMILU).

    BalasHapus